Cinta..
Terlalu sulit untuk dimengerti
Terlalu luas untuk didefinisi
Tapi percayalah, cinta adalah keindahan...
Aku tak yakin kapan perasaan ini muncul. Sejauh ini, selama kurang lebih empat tahun aku dan dia saling mengenal. Kami bersahabat, dan semua orang tau itu. Walau tak jarang ada saja orang yang menganggap kami memiliki hubungan khusus, tapi percayalah, aku tidak sama sekali menyimpan perasaan padanya. Setidaknya sebelum beberapa hari terakhir ini.
Terlalu banyak hal yang kami bahas tiap harinya. Namun entah mengapa tidak pernah sekalipun kami membahas lebih tentang hatiku ataupun hatinya. Bahkan bercerita tentang mantan-mantannya pun tidak. Sayangnya itu semua baru aku sadari sekarang. Saat perasaan ini tumbuh menjalari pagar-pagar hatiku, membuatnya penuh hanya dengan namanya. Sehingga aku terlalu takut menanyakannya, takut menerima kenyataan bahwa hatinya telah terisi, dan orang itu bukan aku.
“Maaf vi... tadi gue ada ulangan susulan, jadi lama.” aku menoleh, menatap pemilik suara merdu itu beberapa detik. Tak bergerak, tak bersuara. Hanya menatap wajahnya yang sedikit basah oleh keringat namun tetap tampan, sangat tampan.
“Mau jalan sekarang?” tanyaku padanya. Hari ini aku dan Alvin, sahabatku berencana memesan tiket musikal laskar pelangi. Dia mentraktirku, sebagai permintaan maafnya karena membiarkan aku pulang sendirian tiga kali berturut-turut.
“Lo udah sholat?” aku mengangguk dengan tambahan senyum, tak ingin sedikit pun terlihat buruk di matanya.
“Ke kantin dulu deh. Gue mau beli minum sebentar, capek lari. Yuk!” tak menunggu sepatah kata pun dariku, Alvin langsung menarik tanganku, membuat langkahku sedikit terseret. Tidakkah dia sadar yang dia lakukan itu membuat degup jantungku bergerak tiga kali lebih cepat dan membuat pipiku memanas serta dengan mudahnya menarik bibirku tersenyum? Tak ingin terlihat aneh aku pun hanya menunduk sepanjang perjalanan menuju kantin.
*****
Semudah itukah cinta datang?
Semudah itukah cinta menguasaiku?
“Selamat natal ya vin...” ucapku lewat telepon.
Alvin menghabiskan libur natalnya di Malang. Itu cukup membuat aku gelisah lima hari terakhir ini. Tak ada orang yang menjemput tiba-tiba lalu memaksa aku ikut kemana pun dia pergi. Tak ada orang yang selalu bisa membuat aku tertawa dengan tingkah-tingkah konyolnya. Tak ada..... oke cukup! Ini baru lima hari, bahkan selama itu aku ataupun Alvin tak pernah lupa untuk saling sms.
“Yoa, makasih vi. Maaf ya semalem telepon lu ga gue angkat, gue lagi doa bersama vi.”
“Iya vin, itu sih gue aja yang konyol, udah tau malem natal, malah ganggu, hehe. Maaf ya vin..” memalukan memang, bahkan sampai saat ini aku masih merutuki diriku atas kebodohan itu. Yah, aku akui aku terlalu merindukan suaranya. “jadinya lo kapan balik vin?”
“Mmh, vi. Perasaan setiap sms atau nelepon lo selalu nanya gitu deh. Kangen banget ya sama gue? Haha.. kan udah gue bilang gue balik kamis atau enggak jum’at depan vi...”
“Eh, hehe iya ya. Gue terlalu kangen lo nih vin.” Seper milidetik kemudian aku kembali merutuki perkataanku. “E..mmh, kan ga ada yang ngajak gue jalan-jalan kalo lo ga di Jakarta vin..” bodoh! Padahal dulu aku dapat dengan mudah mengelak hal-hal semacam tadi, tapi mengapa aku malah terpengaruh dengan mudahnya kali ini.
“Biasa aja kali vi, ketampanan gue emang bikin orang cepet kangen, hehe..” tanpa dia sadari aku meng-iya-kan pernyataan itu. “Eh vi, masa gue ketemu Olga di sini. Ternyata rumah gue sama dia yang di Malang deketan.”
“Olga Victoria? Kalian bukannya pernah ngebahas kampung halaman kalian itu ya? Lo gimana sih vin. Hehe..”
“Oh, iya ya? Gue lupa vi. Lagian terlalu banyak orang yang ngajak gue ngobrol tiap harinya, jadi gue cepet lupa.”
“Iish, najong banget lo! Eh terus lo gimana sama Olga? Jalan ke mana aja?” sial. Mengapa aku harus membahas itu? Harusnya topik pembicaraan kami hari ini cukup tentang aku atau Alvin. Bukan yang lain.
“Kemaren sebelum natal, gue nemenin dia jalan-jalan gitu. Sekarang gue lagi siap-siap mau jemput dia, katanya dia mau ngajak gue ke suatu tempat.” jawabanya... seperti sebuah panah yang menusuk tepat di hatiku. Rasanya oksigen di udara terlalu sedikit dan tidak mencukupi aku bernafas.
“Oh, udah dulu deh vin...” tidak, aku tidak kehabisan topik pembicaraan, hanya saja rasanya tenggorokanku terlalu kering untuk bersuara.
“Oke, gue juga udah mau jalan jemput Olga. Dah via, jangan kangen gue ya...” tanpa mengucap sepatah kata lagi, aku langsung memutuskan sambungan telepon kami.
Olga, chairmate-ku dan Alvin, sahabat yang.. mmh, aku cintai itu... Ada apa ini? Mengapa aku sangat tidak rela mendengar kabar ini. Ayolah, mereka hanya kebetulan berlibur bersama, mengapa aku harus cemburu?
-----
“Ayo dong foto lagi, mumpung kita lagi lengkap nih. Yel, fotoin lagi ya... iyel baik deh, nanti aku beliin permen sugus. Hehe..” Shilla, sahabatku memang sangat narsis, jangan pernah mengajaknya berfoto kecuali jika kau telah menyiapkan ratusan gaya untuk berfoto dengannya.
“Hhhmm, dasar narsis... Ga bosen apa tiap hari foto-foto mulu?” walaupun terlihat malas, Iyel pasrah saja disuruh-suruh Shilla, pacarnya.
Sebenarnya selain dengan Alvin, aku juga bersahabat dengan Shilla, Ify, Agni dan Rio. Dan beginilah yang kita lakukan setiap sedang berkumpul, foto-foto hingga Shilla benar-benar kehabisan gaya, dan kami tak pernah tau di foto ke seratus berapa miss narsis itu mau berhenti.
“Siap ya. Satu.. dua...”
“Alvin.. Jalan sekarang yuk..” kami yang sudah siap dengan gaya konyol masing-masing langsung menatap ke sumber suara cukup nyaring itu, Olga. Iyel pun batal mengambil foto kami dan ikut-ikutan menatap Olga bingung.
“Eh, gue ganggu ya. Maaf, maaf..” ujarnya. Aku hanya menatapnya dalam diam. Otakku masih berfikir mau kemana Olga dan Alvin? Tidak satu pun dari mereka bercerita padaku bahwa akan pergi bersama. Atau jangan-jangan...
“Gue duluan deh ya, ga enak nih dari kemaren janjian sama Olga ga jadi mulu. Daah.”
“Emang lo mau kemana Vin?” akhirnya pertanyaan itu terlontar, aku harap jawabannya tidak menyakitkan.
“Gue mau nonton vi, oh iya maaf ya ga bisa pulang bareng. Nanti lo nebeng jemputan Ify atau Shilla aja, oke? Daah jangan kangen yaaa.” jawabnya sambil mencubit pipiku, dan kali ini aku tidak senang. Dugaanku benar, pantas saja Olga menolak ajakanku untuk mengerjakan tugas karya tulis kami, ternyata dia akan pergi bersama Alvin...
“Ehhh, foto lagi yukk..” ajak Shilla.
“Gg..gue mau ke WC dulu.” ucapku lalu pergi. Sempat terdengar sayup-sayup perbincangan mereka yang merasa heran denganku.
*****
“Vi, tugas IPA lo mana? Mau dikumpulin nih.” Cakka, ketua kelasku tiba-tiba menghampiri aku yang tengah menghabisakan makan siang di kelas bersama Alvin.
“Oh, bentar kka..”
5 detik...
10 detik...
20 detik...
Aku masih sibuk mengacak map ku, namun kertas yang diminta Cakka itu tidak ada, tentu saja aku sangat panik, terlebih guru IPA kelasku tidak pernah mentolerir keterlambatan pengumpulan tugas.
“Mana Vi?” tanya Cakka lagi, mungkin dia mulai tak sabar.
“Eee, bentar Kka, kertasnya ga ada nih. Tapi gue inget kok tadi pagi masih gue baca ulang, sumpah. Aduuh, parah banget nih.” gumamku panik.
“Cari dulu yang bener Via, jangan keburu panik, nanti malah ga ketemu.” nasehat Alvin sambil membantuku mencari kertas itu di selipan buku-buku. Suaranya begitu lembut, sampai-sampai kelembutannya mengalir ke hatiku, membuatnya begitu tenang. “yang ini?” tanya Alvin, aku masih terdiam memandang Alvin dan ketenangannya yang sedikit demi sedikit ikut mengalir dalam hatiku. “Vi?”
Reflek aku langsung merampas kertas yang ditunjukkannya, beruntung kertas itu tak ku buat robek. “Iyaaa. Makasih ya Al. Nih Kka, maaf ya jadi lama, hehe.” Cakka langsung mengambil kertas itu. Sedikit kasar menurutku, mungkin dia kesal telah ku buat menunggu cukup lama.
“Makanya lain kali kalo nyimpen kertas yang rapih. Ngapain nenteng-nenteng map kalo kertas masih di selipin di buku.” Lagi-lagi. Suara merdu itu, sangat lembut dan menyejukkan hati. Salah satu alasan yang membuatku selalu bahagia bersamanya.
*****
Terkadang, cinta memang menyakitkan
Tapi cinta memiliki cara tersendiri,
untuk melukiskan keindahannya dalam kehidupan kita...
“Vi? Lo serius?!” seru Ify kaget begitu aku bercerita tentang perasaanku pada Alvin.
“Lo fikir gue bakalan bohong di saat kaya gini?”
“Terus kenapa sekarang lo sedih? Alvin baik kan sama lo, gue rasa ada kemungkinan dia suka sama lo.”
“Tadi sore sebelum balik gue sama dia ke kantin, kita ngobrolin Ozy Acha yang sekarang jadian, padahal mereka udah sahabatan dari SD.” Aku menyeka air mataku yang sudah hampir menetes, “terus dia bilang sesuatu yang menurut gue menyakitkan...” air mataku kembali mengalir, baiklah aku akui aku memang cengeng dalam hal ini.
Ify merangkulku, “tenang Vi, nangis aja dulu baru cerita..”
Aku menarik nafas panjang, mencari ketenangan lewatnya, “dia bilang ‘kalo kita ga mungkin begitu kan Vi? Kita bersahabat dan ga akan ada perasaan apapun yang merusak persahabatan kita. Lagi pula kita kan beda agama...’ gue nyesek fy dengernya.”
“Sabar vi, sabar.. gue emang ga bisa jadi penasehat yang baik kalo masalah cinta gini, tapi gue siap dengar cerita lo kapan aja, gue juga bakalan siap kalo lo mau basahin baju gue sama air mata lo, dan gue juga janji bakalan nyimpen baik-baik cerita lo biar cuma kita berdua yang tau.”
“Makasih ya vi, maaf banget gue jadi ganggu waktu belajar lo.”
*****
“Alvin!!” aku langsung berlari ke arah kasur kamar itu, padahal jaraknya pun tak lebih dari 5 meter. Namun begitu tepat berada di sisi kiri ranjang itu, aku hanya bisa terdiam, berperang dengan perasaanku, mencegah air mata ini jatuh, walaupun akhirnya hanya kekalahan yang aku dapat.
Dua jam yang lalu aku mendapat kabar Alvin dirawat di rumah sakit ini, aku sendiri belum tau apa sebabnya, bahkan tak seorang pun tau. Kak Tania, menemukan Alvin berbaring dengan mulut penuh busa di kamarnya. Hingga akhirnya satu jam kemudian, dokter memastikan nyawa Alvin sudah tidak bisa diselamatkan.
“Sabar ya Vi...” Cakka, yang berbaik hati mengantarku ke rumah sakit berusaha menenangkanku, walau nyatanya tak sedikitpun merubah keadaanku.
“Lo udah telfon Shilla atu Rio kan Kka?”
“udah Vi, mereka nanti mau langsung ke rumah Alvin aja..”
“Ambulancenya udah siap Vi, kamu ikut ke rumah ya?” aku hanya menjawab tawaran kak Tania dengan senyum yang mungkin tak seindah biasanya.
-----
Ini adalah pertama kalinya aku tidak bahagia saat berada di samping Alvin. Pertama kalinya aku berharap bukan Alvin yang saat ini berbaring di sampingku. Hari ini dia sangat jauh berbeda. Tak ada celetukannya yang membuat aku tertawa, tak ada nasehatnya yang selalu mampu menenangkan hatiku, tak ada senyumnya yang selalu bisa membuatku meleleh. Hanya ada Alvin yang terbujur kaku, tanpa jiwanya. Haruskah dia pergi secepat itu, bahkan sebelum dia tau perasaan ini.
“Kka, anter aku pulang sekarang.” pintaku, aku terlalu lemah untuk melihat Alvin yang hanya berbaring kaku, bahkan aku sangat lemah melihat peti hitam itu.
“Tapi... kamu ga mau ikut-”
“Aku mau pulang sekarang Kka..” sambungku sedikit memaksa. Setelah Cakka meminta izin pada keluarga Alvin dan beberapa teman-teman sekolah kami yang sudah di sana, dia pun mengantarku pulang.
Perjalanan yang seharusnya singkat terasa sangat panjang kali ini. Padahal dulu aku selalu mengeluh atas dekatnya jarak rumahku dengan alvin, yang tidak bisa membuat aku berlama-lama duduk bersampingan dalam mobilnya dimana aku akan bisa melihat keteduhan wajahnya dengan jelas.
Diam. Hanya itu yang aku lakukan sepanjang perjalanan ini. Tidak ada air mata yang mengalir memang. Aku menyimpannya, untuk menumpahkannya nanti, disaat aku sendiri. Cakka pun begitu, dia fokus dengan jalan, walau terkadang aku mendapatinya sedang menengok ke arahku, tanpa suara.
BRAK.
Aku langsung membanting pintu mobil Cakka dan bersiap berlari masuk ke kamarku. Tapi...
“Via!” sahut Cakka yang juga sudah keluar dari mobilnya.
Aku menengok dengan mata yang mulai remang oleh tumpukan air mata. “Makasih Cak, maaf udah ngerepotin.” ucapku lalu kembali berlari masuk. Aku tau itu sangat tidak sopan, tapi kali ini keadaanya berbeda. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk meminta maaf pada Cakka begitu keadaanku membaik nanti.
1 Tahun Kemudian...
“Vin, maaf aku baru dateng. Tadi aku ada rapat akbar acara pensi, aku udah mencoba bujuk Cakka supaya ngizinin aku ga ikut, tapi dia melarang keras...”
Aku mendesah panjang sambil mengusap nisan Alvin. “Aku masih ga nyangka, kalo ternyata kita udah setahun berpisah, maaf kalo ternyata aku belum bisa move on. Aku selalu ngerasa kalo kamu baru beberapa jam ninggalin aku, bukan karena aku ga kangen kamu. Kamu pasti tau seberapa besar rasa kangen aku sama kamu. Itu karena semua kenangan kita vin, begitu banyak tempat, makanan dan kejadian yang ngingetin aku sama kamu. Kenangan itu udah melekat banget di hati aku vin, seolah-olah semua itu bener-bener terjadi lagi, bukan cuma dalam angan aku. Aku tau ini gila, tapi aku masih selalu ngerasa kalo kamu ada di deket aku.”
“Kamu tau Vin, saat ini rasanya pintu hati aku udah tetutup sama nama kamu.Kamu pasti udah bosen denger ini, karena setiap aku kesini aku selalu bilang kalo aku sayang kamu. Tapi entah kenapa aku ga pernah bosen ngungkapin perasaan ini Vin, aku pengen kamu tau kalo selama ini aku selalu berharap perhatian kamu lebih dari sekedar perhatian seorang sahabat, tapi kekasih...” entah dimana sisi sedihnya, tiba-tiba saja air mataku menetes, dan turun semakin deras.
“Aku pulang dulu ya Vin. Maaf kalo setiap kesini aku selalu ngotorin makam kamu dengan air mata aku. Aku sayang kamu...”
“Cakka?” ujarku begitu berbalik dan menemukan Cakka yang telah berdiri tak jauh dariku. “Ll..lo ngapain?”
“Emang gue ga boleh ya nengokin makam Alvin, dia kan sahabat gue juga.” Aku hanya diam, tiba-tiba saja pikiranku terasa penuh. “Sini, ada yang mau gue omongin..” Cakka menarikku jongkok bersebelahan dengannya, di depan makam Alvin tentunya.
Aku menatap Cakka tak mengerti, sementara dia terdiam seolah-olah sedang mengumpulkan energi untuk berbicara. “kenapa Kka?”
Cakka menarik nafas panjang, “Vin, sebelumnya gue mau minta maaf, karena gue udah ngelakuin satu kesalahan besar, tapi sesuai janji gue, gue akan kasih tau Via semuanya, saat ini, di depan lo Vin..”
Cakka menatapku, sementara aku semakin bingung terutama dengan kata-katanya tadi. “Seben-”
“Ssst.” Cakka menaruh telunjukknya di bibirku, “Vi, sebenernya selama setahun ini, gue udah nyembunyiin sesuatu yang mukin sangat berharga buat lo.” Ia menyodorkan sebuah kertas padaku, hanya selembar kertas biasa yang dilipat hingga seukuran kertas memo, darimana cakka menganggap itu berharga?
“Lo baca dulu isinya, baru lo akan ngerasa ini sangat berharga.” Seolah tau pikiranku, Cakka menjelaskannya. Tanpa ragu aku membuka lipatan ketas itu.
Mungkin ini konyol dan sangat ga gentle.
Lewat selembar kertas biasa ini, gue cuma mau ngungkapin sebuah perasaan yang luar biasa. Gue mau bilang kalo gue sayang sama lo, Sivia Anggraeni, bukan sayang seorang sahabat, ataupun kakak kepada adiknya, tapi sayang seorang lelaki biasa untuk wanita luar biasa yang telah berhasil mencuri hatinya.
Maaf kalo ternyata gue udah ngelanggar perkataan gue pas kita di kantin tempo hari. Gue rela kalo lo masih berpegang teguh sama ucapan gue itu, walaupun gue malah harus menjilat ludah gue sendiri.
I love you, Sivia...
-Alvin-
Alvin... ternyata dia punya perasaan yang sama... mataku kembali meremang, dan akhirnya cairan bening mengalir dengan lancar di pipiku. Semua sudah terlambat, saat ini aku hanya bisa memiliki kenangannya, bahkan raganya pun sudah tak bisa aku dapati secara nyata.
“Gue di kasih surat itu sama Kak Tania, setelah pemakaman Alvin. Kak Tania nanyain lo ke gue, pas gue bilang lo udah pulang dia nitipin surat itu, katanya dia lupa ngasih karena terlalu sibuk ngurus pemakaman Alvin, dia juga bilang kalo kertas itu ada di meja belajar Alvin pas dia nemuin Alvin udah ga sadar di kamarnya. Karena penasaran gue baca dulu isi surat itu. Gue emang bego dan pengecut. Gue ga mau ngasih surat itu ke lo, karena gue takut lo semakin nutup hati lo dan....” Cakka menunduk sejenak, “...dan lo ga mau buka hati buat cowo lain termasuk gue. Gue udah lama suka sama lo vi, gue juga udah lama tau kalo lo suka sama Alvin, karena gue terlalu sering perhatiin lo. Maafin gue...”
Aku terdiam, dengan perasaan tak menentu. “Mmh..” gumamku, dan di detik yang sama Cakka juga menyebut namaku. “Kenapa kka?”
“Mmm, mungkin waktunya kurang tepat, tapi sesuai janji gue...” Cakka menggengam kedua tanganku, sehingga posisi kami berhadapan saat ini. “Gue sayang sama lo vi, lo mau jadi pacar gue?”
Aku kembali terdiam, kali ini karena bingung harus menjawab apa. Secara perlahan aku pun melepaskan tangan ku dari genggaman Cakka dan kembali menatap makam Alvin. “Maaf kka, gue...”
"Gue ngerti kok vi, buat gue jawaban jujur itu lebih penting dari pada sekedar ngasih harapan palsu. Tapi... gue mohon lo ga ngejauh dari gue karena hal ini.”
Rencananya mau ada yang pake poit viewnya cakka, makanya masih di gantung dulu. Hihihi~
Okeh aku tau ini ga jelas. Tapi ini adalah cerpen aku yang proses pembuatannya paling cepet. Jadi maaf kalo hasilnya seadanya. Makasih yang udah baca.