Jumat, 11 Februari 2011

sivia


Aku memang tidak pernah tau rasanya kehilangan seorang kakak, tapi aku sangat tau bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayang.
Aku shilla, shilla veronica. Kali ini aku tidak akan bercerita tentang kisah mantan-mantanku atau tentang keluargaku yang tak pernah mempedulikanku. Tapi aku akan bercerita tentang sahabatku, sivia oxavia zadanie, yang harus kehilangan kakak semata wayangnya, teman dalam setiap langkah hidupnya.
**********
Aku dan via bersahabat sejak SD karena kami satu sekolah, sayangnya memasuki jenjang SMA kami berpisah. Nilaiku tidak mencukupi untuk masuk ke SMA 1, sekolah via sekarang. Berbeda sekolah tidak membuat persahabatan kami terlupakan begitu saja. Aku masih sering bermain ke rumah via walau jarak rumah kami bisa dibilang jauh, dan kami pun masih sering komunikasi lewat telepon atau sms.
Tapi tidak untuk beberapa hari terakhir. Aku terlalu sibuk mengurus acara pensi sekolahku, belum lagi ujian tengah semester yang sebentar lagi berlangsung. Beberapa kali via sempat smsku, meminta ditemani pergi, tapi aku mengabaikannya.
Aku tak menyangka ternyata sahabatku itu memang sedang membutuhkan sahabatnya. Dia sangat membutuhkanku, tapi aku apa? Tau keadaannya saja tidak. Status facebooknya, tweetnya, aku pikir semua itu hanya bagian dari cerita-cerita yang dia baca, ternyata aku salah. Itulah isi hatinya, jeritan kesedihannya.
-------
“shil, ke rumah via yuk pulang rapat nanti.” ajak oik sahabatku di SMA. Via dan oik juga saling mengenal, bahkan kami sudah sering bermain bersama sahabat via juga, aren dan acha.
Aku menggigit bibir, “tapi besokkan ada tugas math, pekan depan juga kita udah mau uts.” Seharusnya oik sadar bahwa itu sebuah penolakan secara halus.
Oik berdecak, “itu mah dikerjain malem juga selesai shil, paling sisa dua-tiga nomor, lanjutin di sekolah beres. Ayolah, udah hampir sebulan kita ga ketemuan sama via. Lagian kamu ga kangen sama abangnya?” rayu oik sambil tersenyum menggodaku. Aku menunduk untuk menutupi kesaltinganku.
“tapi sebentar aja ya. Aku telepon via dulu deh..”
“eet, jangan shil, biar kita kasih surprise buat dia. Oke?” usul oik sambil mengangkat alis kirinya. Aku hanya mengangguk.
-------
Beruntung hari ini supirku sedang tidak sibuk mengantar ayah bekerja, jadi aku bisa minta antar dia untuk pergi ke rumah via. Sore itu pun aku dan oik langsung berangkat ke rumah via setelah rapai usai.
Macetnya jakarta membuat perjalanan kami sedikit lebih lama, dan aku sedikit resah memikirkan tugas mathku. Oik mungkin bisa mengerjakannya setengah atau bahkan seluruhnya dalam beberapa jam malam nanti, karena selain dia pintar, kakaknya juga guru matematika yang mahir menyelesaikan soal-soal dari pak duta yang sulitnya minta ampun itu. Tapi aku? Mencerna satu soal saja bisa memakan waktu setengah jam.
“shil, kok rumahnya sepi banget ya?” gumam oik, ternyata kami telah sampai dan aku baru menyadarinya.
“eh? Ga tau tuh ik, yaudah kita turun dulu yuk. Tunggu sebentar ya pak.”
Rumah besar itu memang terlihat sepi. Aku tau rumah itu memang selalu sepi karena hanya via, kak alvin, bi siti dan pak sam yang sering ada di sana, sementara ayah via sibuk bekerja dan ibunya sudah lama meninggal, tapi keadaan rumah ini tidak seperti biasanya.
Tak ada mobil di garasi yang pintunya terbuka lebar itu, tirai-tirai jendela juga tertutup rapat, dan gerbang yang tergembok. Aku mencoba menekan bel beberapa kali, namun tetap tidak ada tanda-tanda penghuni di rumah itu.
“ini orang udah pada tidur apa lagi pergi semua ya? Masa bi siti juga ga ada sih?” gumam oik sambil sedikit menjinjit dan mendongak karena badannya kalah tinggi dengan pagar rumah itu. “coba telepon deh shil..”
“tadi katanya mau surprise?” candaku sambil meraih handphoneku dalam tas.
“aah, sekarang kan beda keadaan. Hehe..”
TIN..TIIIIN...
Serempak aku dan oik menoleh ke mobil yang baru saja mengeluarkan suara klakson itu. Aku sedikit menjauh dari depan gerbang dan supirku memanjukan mobilnya agar mobil tadi bisa masuk. Lalu seorang wanita yang sejak tadi telah turun dari mobil itu membuka pintu gerbang dan membiarkan mobil masuk.
“asik, pas banget orangnya dateng. Jadi deh surprisenya..” girang oik. Mba siti, pembantu via yang tadi membuka pintu menghampiri aku dan oik setelah mobil itu tepat di posisinya.
“mba shilla sama mba oik nyari non via tah?” tanya bi siti dengan logat jawanya yang khas.
“iya, habis pada kemana bi? Sepi banget rumah.”
“maaf mba shilla, mba oik, non vianya sedang di rumah sakit, menjaga den alvin yang habis kecelakaan seminggu lalu.” bi siti bercerita seolah tak mendengar pertanyaan aku tadi. Mungkin pikirannya penuh dengan majikan mudanya itu.
“terus se-”
“kasian non via, udah beberapa hari dia bolos sekolah buat jagain den alvin, kalo sekolah pun pulangnya dia langsung ke rumah sakit, ke rumah pun paling cuma mandi. Soalnya tuan lagi sibuk di paris, dan ga bisa ninggalin kerjaannya di sana. Beberapa hari lalu tuan sempet ke sini sebentar, selebihnya cuma nanya-nanya kabar den alvin lewat telepon.” tanpa membiarkan kalimat oik selesai, bi siti melanjutkan ceritanya.
“boleh minta alamat rumah sakitnya bi? Kita mau ke sana sekarang.”
“oik! Kamu gila ya? Ini udah mau maghrib, besok kita ada tugas math.”
“tugas math mah gampang shil, kamu bisa nyontek sama aku besok, biar nanti malem aku begadang ngerjain. Yang penting sekarang keadaan via, seminggu ini dia sendiri ngadepin semua cobaan ini, kamu masih mau mikirin tugas matek yang cuma sepuluh nomor itu? Tolong jangan egois shil..” hatiku sedikit bergetar mendengar perkataan oik itu. Apa iya aku terlalu egois?
Bi siti menatap aku dan oik bergantian, “kalian jadi ke rumah sakit sekarang?” tanya bi siti tanpa pedulikan sedikit keributan antara aku dan oik tadi.
“jadi bi.” jawabku mendahului oik yang telah membuka mulutnya.
“kalo gitu nanti kita bareng saja, saya mau ngambil baju ganti untuk non via dulu. Ayo kalian silahkan masuk, tunggu di dalam saja.” ajak bi siti masih dengan logat jawanya.
“makasih bi, kita tunggu di mobil aja. Bibi cepetan ya.” tanpa bersuara lagi, bi siti langsung masuk ke rumahnya.
Aku menoleh ke oik yang ternyata juga sedang menatapku. Suasananya memang menjadi sedikit tidak nyaman sejak beberapa detik lalu. Aku menggeser kepalaku sedikit demi sedikit sehingga yang dapat ku lihat sekarang adalah sepatuku. Kecanggungan pun menyelimuti kami berdua, biasanya di saat-saat seperti ini agni, sahabat kami, yang akan kembali membuat suasana menjadi hangat, sayangnya sejak kemarin dia sakit dan dokter menyuruhnya beristirahat di rumah selama tiga hari.
“Shil,” aku menoleh, oik tersenyum padaku. “makasih ya, maaf tadi aku emosi.”
Aku mengangguk dan membalas senyumnya, “maaf juga aku egois.”
“yaudah balik ke mobil yuk.”
**********

Ini bukan pertama kalinya aku berkunjung ke rumah sakit, malah aku sudah terlalu terbiasa dengan aroma alkohol yang khas dari rumah sakit, karena ayahku juga seorang dokter. Tapi kali ini sedikit ketegangan mengalir dalam tubuhku begitu aroma itu terhirup, ditambah dinginnya udara malam ini. Oik yang berjalan beriringan denganku di belakang bi siti dan pak sam menggandeng tanganku, raut kecemasan sangat tampak di wajahnya.
CKLEK. Bi siti membuka pintu kamar rumah sakit itu. Tapi dia hanya berdiri di sebelah pintu, sambil menahannya agar tidak tertutup kembali, lalu mempersilahkan kami masuk. Aku dan oik pun masuk bergantian, lalu dengan langkah kecil kami mendekati daerah utama kamar rumah sakit itu.
Pemandangan pertama yang aku tangkap begitu masuk rumah sakit itu adalah seorang gadis yang sudah pasti dapat kalian tebak itu sivia tengah teduduk lemas di sebuah kursi plastik yang di letakkan di sebelah ranjang kamar itu dengan kepala yang direbahkan di ranjang itu. Sivia belum bergerak, mungkin dia tertidur atau tak sadar dengan kedatangan kami karena kepalanya memang membelakangi kami.
Bi siti meletakkan tas yang dibawanya di sofa yang ada di sudut kamar, lalu dia menjatuhkan tubuhnya di sebelah tasnya itu sehingga membuat suara yang terdengar jelas di keheningan ruangan itu.
Sivia mengangkat kepalanya sedetik setelah suara berisik tadi muncul, lalu dia memutar badannya ke arah kami. “Bibi udah dat... kalian?” ujarnya lemah sambil menghapus sisa air mata di pipinya. Matanya merah dan sembam.
Oik melangkah cepat mendekati via lalu memeluknya, “kamu yang sabar ya vi, maaf kita baru bisa dateng sekarang...” suara oik melemah di akhir kalimatnya namun tetap terdengar karena heningnya ruangan. Beberapa detik kemudian terdengar suara sesegukan dari dua insan itu.
Aku menatap orang yang berbaring di ranjang itu. Kak Alvin. Kepalanya dibalut perban berlapis-lapis, dan masih membekas darah di sekitar keningnya. Selang-selang infus dan alat bantu bernafas menempel di badannya. Aku memang belum tau apa yang terjadi dengannya, tapi sudah bisa ku pastikan dia mengalami kecelakaan parah.
“shilla..” aku tersadar begitu mendengar suara lemah itu, bersamaan dengan sebuah tepukan di pundakku.
“via..” sahutku lalu memeluknya. “sabar ya vi, maaf akhir-akhir ini aku jarang ngehubungin kamu sampe ga tau kalo kak alvin kecelakaan.”
Aku merasakan via mengangguk dalam pelukanku, lalu aku mulai merasakan pundakku basah. Aku pun mempererat pelukanku, berusaha memberikan lebih banyak energi positif agar via bisa bersabar.
“sebenernya kak alvin kenapa vi?” tanyaku setelah melepas pelukan via.
Via sesegukan, lalu dia menghapus air matanya yang kembali menetes. “bi, aku sama temen aku keluar dulu ya. Bibi tolong jagain kak alvin.”
Setelah mendapat jawaban iya dari bi siti, via melangkah mendekati pintu, dan tanpa perlu di perintah aku dan oik mengikutinya.
**********

Via membawa kami ke kantin rumah sakit itu, sudah mulai sepi di sana hanya ada beberapa orang selain kami. Kami hanya bercanda-canda ringan sampai minuman pesanan kami datang.
“keadaan kak alvin udah parah banget, shill, ik..” aku dan oik terdiam memperhatikan cerita via, kami paham sekarang saatnya serius.
“seminggu lalu dia kecelakaan sepulang latihan band sama temennya. tiba-tiba... aku dapet kabar dari papa kalo kak alvin di rawat di rumah sakit.. padahal saat itu papa lagi di paris...” via menghapus air mata yang baru saja keluar di pangkal matanya. “aku pikir kak alvin lagi ngerjain aku, jadi aku tetep ke rumah sakit walaupun udah jam dua malem...”
“...tt..tapi ternyata aku salah... kak alvin bener-bener lagi sekarat di rumah sakit... sampe sekarang aku ga tau kenapa ka alvin bisa kecelakaan. Orang yang bawa kak alvin ke rumah sakit pun ga tau, katanya dia nemuin ka alvin udah dalam keadaan yang parah banget di depan persimpangan...”
Oik menarik via ke pelukannya, membiarkan via membasahi kemeja putihnya. “tenang vi, keluarin aja semua yang udah kamu simpen selama ini...” oik benar. Via pasti belum menceritak ini semua pada ify dan acha. Dia sangat tertutup, dan hanya pada aku dan oik dia mau jujur.
“terus sekarang kak alvin gimana? Ga ada kerusakah serius kan di organ tubuhnya?” tanyaku, aku sangat cemas mendengar cerita via tadi. Bahkan mataku mulai berat ingin ikut menangis.
Via melepaskan pelukan oik, “kaya yang udah aku bilang tadi shil, kak alvin udah parah banget. Aku sendiri pesimis kak alvin bisa sem...buh.” tangisan via kembali pecah.
“Vi, kamu ga boleh bilang gitu, aku dan shilla juga bakalan bantu doain kak alvin.. kak alvin pasti sembuh vi...” oik kembali menenangkan via dengan mengusap pundaknya.
Via menghapus asal tetesan air mata di pipinya, membuatnya terlihat semakin kacau. “ee...eng..gak ik.. kak alvin luka parah... ada kebocoran di otak kanannya...” via menghentikan ceritanya dan membersikan wajahnya dengan tisu yang baru saja oik keluarkan dari tasnya. “Beberapa hari lalu dokter sempet nyaranin kak alvin di operasi, papa udah sempetin pulang buat tanda tangan persetujuan dan ngikutin perjalanan operasi kak alvin, tapi....” via kembali menangis sesegukan, aku dan oik tak tega melihatnya sehingga kami ikut meneteskan air mata.
Sebenarnya aku sangat penasaran dengan kelanjutan cerita via, tapi aku tidak berani menanyakannya, khawatir tangisnya semakin menjadi. Akhirnya aku hanya bisa diam menunggu via tenang dan melanjutkan ceritanya.
“...tapi begitu selesai operasi, ternyata... ada kebocoran lain di otak kiri kak alvin, lebih kecil, lebih banyak, dan lebih sulit di sembuhkan...”
Via membenamkan wajahnya ke dalam kedua belah tangannya beberapa detik, oik masih merangkulnya, aku pun menggeser posisi dudukku sehingga bisa ikut merangkul via. Setelah via sedikit tenang, aku dan oik mengantarnya kembali ke kamar rawat kak alvin. Lalu kami pamit pulang.
Ternyata via masih seperti dulu. Masih suka menyimpan segala masalahnya sendiri. Masih suka tak mau berbagi selain dengan aku. Masih suka membiarkan aren dan acha tak pernah curiga dengannya. Aku bersyukur oik telah membentakku untuk pergi ke rumah sakit hari ini.
**********

Hari ini aku dan oik kembali berencana menjenguk kak alvin, menemani via menjaga kakak kesayangannya itu. Tapi kali ini kami tidak hanya berdua. Agni, yang baru saja merasa keadaannya lebih baik memaksa ikut menjenguk kak alvin begitu aku dan oik menceritakan keadaannya. Aku juga sempat menghubungi aren dan acha, menceritakan semuanya dan mereka akan menyusul kami setelah beberapa urusannya di sekolah selesai.
Aku melihat ke dalam kamar rawat kak alvin dari kaca yang mengisi sedikit bagian dari pintu kamar itu. Tentu saja hanya via dan kak alvin yang masih berbaring yang terlihat. Via memang telah menceritakan rencana izin sekolahnya pada aku dan oik semalam. Hari jum’at penuh pelajaran yang gag penting, mendingan aku jagain kak alvin dari pada kesekolah cuma buat bercanda dan main.
Aku membuka pintu itu perlahan, berusaha tak mengeluarkan suara. Lalu oik dan agni masuk dan aku kembali menutup pintu itu perlahan.
“...hari ini papa pulang kok kak, katanya kerjaannya udah selesai. Kakak jangan marah ya sama papa, papa ga pernah bermaksud ga peduliin keluarganya. Kakak tau sendiri kan, dalam sehari papa bisa sepuluh kali nelepon buat nanyain keadaan kakak dan aku...” oik dan agni diam di tempat, tak melanjutkan langkahnya.
“kak, aku ga akan maksa kakak untuk sembuh lagi kok. Aku janji akan ikhlas walaupun kakak lebih memilih untuk nemenin mama di surga...” via menangis lagi. Mataku sedikit berat mendengar suara parau via itu.
“...kan masih ada papa yang nemenin aku di sini... ada shilla, oik, agni, aren, sama acha juga yang akan ngejagain aku...”
Oik membiarkan kakinya melangkah maju, mendekati via, di posisi yang sama saat aku menengoknya kemarin. “vi...” ujarnya sambil menepuk pundak via.
Via menyentuh tangan oik yang ada di pundaknya lalu berbalik menatap oik dan memeluknya. Aku dan agni pun ikut menghampiri mereka.
“via...” semua mata menoleh ke arah pintu. Seseorang tampaknya baru saja melewatipintu masuk kamar itu.
“papa...” via berdiri dan melangkah cepat ke pelukan papanya. Aku merasa ini bagian khusus bagi keluarga ini, sehingga aku mengajak oik dan agni keluar.
-------

“firasat aku ga enak...” ucapku lemas.
“udah shil, jangan nething dulu.” Oik merangkulku. Dia memang selalu bisa menenangkan orang dengan pelukannya.
“iya yang penting kita berdoa aja..” agni ikut menenangkan.
“shilla!” aku melepas pelukan oik. “kok kalian di sini? Kak alvin gimana?” tanya acha. Aren menyusul dari belakang, langkahnya sedikit tertinggal karena rok spannya.
Aku malah menangis mendengar pertanyaan acha.
“kak alvin ga kenapa-napa kok. Ayahnya via baru dateng, makanya kita keluar dulu.”
Beberapa saat kami saling diam. Lalu terdengar langkah terburu-buru dari belakang kami yang semakin mendekat.
“permisi mba, tolong jangan di jalan ya...”
Kami langsung membuka jalan untuk dokter dan suster itu. Tapi... tunggu, mereka masuk ke kamar rawat kak alvin..
“kak alvin..” aku pun melangkah cepat ke kamar itu.
“biar kak alvin di periksa dokter dulu shil.” via menghadangku begitu aku siap membuka pintu. Pipinya basah, matanya merah dan bengkak.
“kak alvin kenapa vi?” tanya oik yang sudah menyusul aku bersama yang lain.
Via hanya menggeleng, lalu papanya membawa dia duduk di bangku sekitar lorong rumah sakit.
Aku memeluk oik yang sudah di sebelahku. Agni ikut mengusap pundakku. Tenang shil, apapun yang terjadi kamu harus terima. Kata mereka. Aren dan acha menatap aku heran seolah bertanya ‘kenapa shilla menangis sesendu ini padahal dia hanya teman adiknya kak alvin?’, aku pun menghapus air mata ku sebelum mereka mulai berfikir yang tidak-tidak.
Selang beberapa menit kemudian dokter keluar dari ruangan itu. Via dan ayahnya langsung menghampirinya. Sementara kami mendekat dan mencoba mendengar percakapan mereka.
“...sekali lagi kami mohon maaf...” hanya sepenggal kata itu yang tertangkap oleh pendengaranku. Via langsung menangis dalam pelukan ayahnya. Aku mencoba tegar, ketika hatiku meyakini nyawa kak alvin sudah tak bisa tertolong lagi. Sementara yang lain sedikit mengeluarkan air mata. Entah ikut merasa kehilangan atau iba melihat pecahnya tangisan via hingga membuatnya jatuh pingsan.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana via bisa bersabar dan menerima kenyataan ini. Aku tau seberapa dekat kak alvin dengannya, aku tau betapa berharganya kak alvin untuknya, dan aku tau bagaimana kak alvin selalu bisa menjaga dan menyayangi adiknya itu. Sementara aku, yang hanya menyimpan sedikit perasaan lebih padanya merasa tak sanggup lagi melihat wajah pucatnya itu. Yang pasti, via jauh lebih terpuruk dariku...

Kita tak pernah tau kapan ajal itu datang, dan kita juga tak akan tau dimana hembusan nafas terakhir kita terjadi. Tapi kita tau hal itu pasti terjadi, sehingga tak ada alasan untuk tidak siap dengan semua itu...


Krik..krikk...

Untitled II

 Cinta..
Terlalu sulit untuk dimengerti
Terlalu luas untuk didefinisi
Tapi percayalah, cinta adalah keindahan...

Sivia. Sudah lama aku mengagumi gadis berpipi chubby itu. Senyumannya yang membuat dagunya terlihat lancip, mata sipitnya yang menjadi semakin kecil ketika dia tersenyum, rambut hitamnya yang selau mengikuti arah gerak tubuhnya dan suara merdunya. Bukan hanya itu, aku juga sangat suka ketika berbicara dengannya, sangat ramah. Dia juga berhati mulia, tak pilih-pilih teman, pintar, dan dia cukup bijaksana.
Dia memiliki sahabat dekat, alvin namanya. Mereka berdua saling kenal sejak SMP. Tak jarang aku iri dengan alvin, dia selalu bisa berada didekat via dan melihat tawanya, yang terpenting, dia bisa mengambil hati via. Aku tau itu, walau mungkin olga, teman sebangku viaatau ify teman curhatnya tidak tau. Aku bisa melihat tatapannya yang berbeda saat bersama alvin atau pipi merahnya yang sering terlihat beberapa kali ketika sedang bercanda dengan alvin. Yah, aku memang sering memperhatikannya, terlalu sering, hingga hal sedetil itu pun bisa aku ketahui.
“Kka, kita ga ada tugas lagi nih?” aku tersentak. Orang yang sedang aku pikirkan kini berada tepat di depanku.
“Ga ada kok vi, lo udah selesai?” tanyaku, beruntung aku bisa menyembunyikan kegugupanku dengan cepat. Dia hanya mengangguk. “ajarin gue dong vi, nomor 3 tuh gimana yah?” baiklah kalian benar aku hanya beralasan, tapi aku memang sedikit tidak mengerti.
Via langsung mengambil posisi duduk di bangku yang ada di hadapanku, kebetulan pemilik bangku tersebut tak ada dan entah kemana, semoga saja dia pergi lebih lama. “Itu peluang bersyarat kka. Jadi kita cari dulu peluang dua batre rusak itu dipengambilan..........” sangat konyol. Tapi aku benar-benar tidak bisa memfokuskan diriku pada penjelasannya.
“..... baru deh masukin ke rumus ini. Ngertikan?”
Aku mengalihkan pandangan pada kertas yang baru saja via tambahkan angka dua di atasnya. “Ooh, iya. Makasih ya vi, enak deh diajarin lo jadi lebih masuk. Anyway, nanti pulang sendiri lagi vi?”
“Engga dong, malah hari ini alvin mau beliin gue tiket nonton MLP sebagai permintaan maaf karena tiga kali ninggalin gue pulang sendiri. Hehe...”
“Emang kemaren alvin kemana? Kok ga nganter lo balik?”
“Katanya sih ngerjain tugas kelompok. Gue keluar duluan boleh kan kka? Mau nyelesain proposal silaturahmi OSIS nih, kalo nanti malem takut ga sempet.”
“Oke, ada yang perlu gue bantu ga? Kemaren susunan acaranya udah gue kirimin ke email lo kan?”
“Sejauh ini sih belom ada yang susah, iya kok udah gue download susunannya. Duluan ya kka..” Aku hanya tersenyum sambil menatap kepergiannya, hingga keindahan itu hilang, di balik pintu.
*****

Semudah itukah cinta datang?
Semudah itukah cinta menguasaiku?

Aku duduk di kursi guru, menatap via dan alvin yang tengah meyelesaikan makan siang mereka di sudut kelas sambil berpura-pura menyelesaikan tugasku. Memang pemandangan yang sangat membakar hati, namun aku fikir ini tak terlalu buruk. Karena sesekali aku bisa menikmati tawa renyah via di tengah candanya dengan alvin, atau mungkit semburat merah di pipinya yang membuatnya terlihat lucu.
“Vi, tugas IPA lo mana? Mau dikumpulin nih.” Entah mengapa aku mulai tidak bisa mengendalikan hatiku, rasa cemburu itu menyebar dan membuatku mulai bosan melihat kedekatan mereka.
Via menghentikan obrolannya dengan alvin. “Oh, bentar kka..” dia pun mengacak mapnya untuk mencari kertas yang aku minta. Cukup lama, membuat aku kembali bosan berdiri di hadapan mereka berdua.
 “Mana vi?” tanyaku tak sabar. Aku menyesal sekarang.
“Eee, bentar Kka, kertasnya ga ada nih. Tapi gue inget kok tadi pagi masih gue baca ulang, sumpah. Aduuh, parah banget nih.” Sivia mulai panik, dan entah mengapa itu menjadi ekspresi yang lucu menurutku.
“Cari dulu yang bener via, jangan keburu panik, nanti malah ga ketemu.” Alvin ikut membantu via mencari kertas itu di selipan-selipan buku via. Aku memalingkan pandangan ke via, dia menatap alvin lekat-lekat, seolah terpana dengan orang yang ditatap, maksudku mungkin dia benar-benar terpana. “yang ini?” tanya alvin, tapi via masih tampak terhipnotis, dia masih diam dengan pandangan yang masih tertuju pada alvin, dan aku mulai benci keadaan ini. “vi?” tegur alvin lagi.
Via pun langsung mengambil kertas yang ditunjukkan alvin, “Iyaaa. Makasih ya al. Nih kka, maaf ya jadi lama, hehe.” Aku langsung mengambil kertas itu sedikit kasar, aku tidak bisa mengontrol perasaan cemburu yang berlipat-lipat ini. Sekilas aku melihat via menatapku heran, namun aku segera beranjak pergi.
*****
“Bu winda ga masuk juga Kka?” tanya Sivia begitu aku masuk ke kelasnya dengan membawa setumpuk kertas tugas. Aku mengangguk, dia pun mendengus kesal. “Harusnya hari ini gue ga usah sekolah.Alvin ga masuk olga juga, guru-guru banyak yang ga dateng.” Keluhnya, aku hanya tersenyum dan membagikan kertas tugas itu ke yang lain.
Tunggu. Alvin tidak masuk sekolah? Apa itu berarti via akan pulang sendiri? Sepertinya ini kesempatan yang bagus untukku.
Selesai membagikan kertas tugas kesemua siswa di kelas aku kembali ke bangku olga yang kosong itu, tepat. Sebelah via. Dia seperti baru saja selesai menerima telepon begitu aku tepat duduk di sebelahnya, dan wajahnya tampak sangat cemas. “Kenapa vi?”
“Alvin masuk rumah sakit kka” jawabnya, nadanya mulai panik. “Gue harus izin, gue mau nyusul dia.”
“tunggu dulu vi.” cegahku sambil menarik tangannya. “ini baru jam ketiga, lo bakalan susah minta izin. Mendingan sekarang lo selesain tugas ini dulu, nanti pas istirahat gue mintain surat izin sama guru piket.” Via terlihat berfikir, namun lebih banyak keraguan yang tampak. “Lo jangan negatif thinking dulu vi. Lo harus tenang, percaya sama gue alvin akan baik-baik aja.” Kali ini via kembali duduk, dan mulai mengerjakan tugas yang diberi bu winda.
Tak memakan waktu lebih dari setengah jam, aku sudah menyelesaikan 10 soal di tugas itu. Entah mengapa kegundahan sivia membuat aku semangat. Bukan, aku bukan bersenang-senang dalam kesedihannya. Maksudku, aku bersemangat karena ingin segera mengantarnya bertemu alvin. Setelah menyerahkan tugas dan mengamanahkan wakilku untuk mengumpulkannya ke guru piket, aku langsung turun untuk meminta surat izin keluar sekolah.
Beruntung petugas piket hari ini tidak terlalu cerewet, sehingga aku bisa dengan mudah mendapatkan surat izin itu, dan tanpa perlu menunggu bel istirahat aku langsung pergi menuju rumah sakit bersama via.
*****
“Alvin!!” via langsung berlari ke arah kasur kamar itu, dua orang yang tadinya menutupi ranjang sederhana itupun langsung memberi celah untuknya. Aku melangkah biasa, membiarkan via di depan dan menghabiskan tangisnya.
Ini semua salahku. Kesalahanku telah mencegahnya pergi ke rumah sakit beberapa saat setelah mendapat kabar itu. Dalam perjalanan tadi, via kembali mendapat kabar bahwa alvin tidak dapat di selamatkan. Dia merasa sangat terpukul, aku menyesal telah mencegahnya, sangat sangat menyesal.
“Sabar ya vi...” aku merangkul pundaknya, berusaha membagi semangat yang aku punya, walaupun aku sendiri tidak memiliki cukup banyak semangat. Melihat via seperti itu benar-benar membuat aku kehilangan semangat.
“Lo udah telfon Shilla atu Rio kan kka?” suaranya terdengar sendu, walaupun tak banyak air mata yang jatuh.
“udah vi, mereka nanti mau langsung ke rumah alvin aja..”
“Ambulancenya udah siap vi, kamu ikut ke rumah ya?” tanya seorang wanita yang aku tau sebagi kakaknya alvin. Via tak menjawab pertanyaan itu dengan suara, hanya senyuman.
------
 “Kka, anter aku pulang sekarang.” Pinta via tiba-tiba. Sedari tadi dia hanya terdiam, tak menangis. Hanya diam dengan tatapan kosong menatap jalan yang sepi karena memang sedang di tutup.
“Tapi... kamu ga mau ikut-”
“Aku mau pulang sekarang kka..” paksanya, akupun langsung berpamitan kepada keluarga alvin dan beberapa teman-teman sekolahku yang sudah ada di sana. Sementara via hanya menunggu di luar. Gue ga bisa melihat peti itu lebih lama lagi, katanya.
-----
Perjalanan yang singkat. Sepanjang perjalanan pun aku ataupun sivia hanya saling diam. Aku tau via menyimpan semua kesedihan itu, dia sedang berusaha tegar, yah, berusaha. Karena bagaimanapun, rasa kehilangan itu sangat jelas terpancar dari sorot kedua bola mata beningnya.
BRAK.
Aku sangat terkejut. Aku tau, via tak bermaksud untuk bersikap kasar.
Aku langsung keluar dari mobil. “via!” sahutku.
Via menoleh, “Makasih Cak, maaf udah ngerepotin.” ucapnya lalu kembali berlari masuk. Aku tau dia tak bermaksud kasar, dia hanya sedang terpuruk. Yah, dia sangat hancur, begitupun aku. Aku sangat hancur melihat keadaannya. Aku hanya ingin memberinya semangat. Kalau perlu aku akan menemaninya sepanjang hari agar dia bisa melupakan ini. Tidak, maksudku agar dia bisa berdamai dengan kesedihan ini. Aku tau dia tak akan pernah lupa dengannya, tapi dia pasti bisa bangkit dari kesedihannya, dan waktu pasti akan membantunya.
Merasa bingung harus kemana, akupun kembali kerumah alvin, aku harus ikut pemakamannya.
-----
Pemakaman usai. Tersisa 4 orang yang masih terdiam di depan makam itu. Oma, ayah dan kakak perempuan alvin. Aku pun masih mematung dijarak yang tak lebih dua meter dari mereka.
"kamu cakka kan?" tanya salah seorang kakak perempuan alvin. "via mana? Dari tadi bukannya dia sama kamu?"
"dia pulang duluan kak." jawabku, dia hanya mengangguk lemah. Kepergian alvin memang membuat banyak orang kehilangan semangat. "kak, kalo boleh saya tau. Sebenernya ada apa dengan alvin?"
Perempuan yang bernama tania itu menghela nafas, "kamu tau kan, hari ini alvin ga masuk sekolah karena migrain." aku mengangguk walaupun sebenarnya aku baru tau itu. "Itu pertama kalinya dia kena migrain. biasanya dia cuma pusing yang kalo istirahat langsung sembuh, jadi di rumah dia ngeluh terus. Pas dia minta ambilin obat sama kakak, malah kakak suruh ambil sendiri." aku fikir belum ada hal mengharukan diceritanya, namun air mata kak tania mulai berjatuhan, dan makin deras, sehingga dia harus menghentikan ceritanya sejenak.
"sudahlah tania.." seseorang merangkul pundak kakak perempuan alvin itu, tapi tangisnya malah semakin pecah. Aku pun merasa bersalah sebagai orang yang mengangkat pembicaraan ini. "maaf kak." Hanya kata itu yang saat ini terlintas di pikiranku.
"gapapa kok nak," kali ini ayah alvin yang menyahut. "sebenarnya alvin meninggal karena overdosis, dia salah ngambil obat , makanya tania merasa sangat bersalah atas kematian alvin." lanjut beliau setelah memindahkan kak tania ke pelukan omanya.
"oh, terima kasih om. Kalau begitu saya pulang duluan." setelah papa alvin tersenyum, aku pun berbalik pergi.
"tunggu!" aku berbalik begitu mendengar sahutan suara yang sedikit serak itu. "tolong kasih ini ke via. Kakak nemuin itu di kamar alvin, via harus tau itu.” Sambungnya sambil memberikan sebuah kertas yang terlipat, aku menerimanya dengan sejuta tanda tanya dalam pikiranku.

1 Tahun Kemudian...
Sudah satu tahun aku menyimpan surat dari kak tania itu. Surat yang pastu akan sangat berharga bagi via. Aku tau aku sangat egois, tapi aku benar-benar takut via akan semakin menutup rapat pintu hatinya setelah dia tau bahwa alvin juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Hari ini, aku berencana mengunjungi makam alvin, kemudian aku akan ke rumah via memberi tau semua rahasia besar ini.
-----
“ayolah kka, hari ini gue ada acara penting, gue harus izin rapat.”
“tapi ini rapat akbar vi, perizinan bukan di gue. Mendingan lo ikut dulu sebentar baru lo izin di tengah rapat.”
“Kka, rapatnya baru mulai jam tiga, itu juga belum ngaretnya, pasti bakalan selesai sore banget..”
“Maaf banget vi, gue juga bingung nanti mau bilang gimana sama ketua pensi, tiap rapat bidang kita yang paling sedikit pesertanya.” Sebenarnya aku sendiri tidak tega membiarkannya memohon seperti itu. Dan kini aku hanya bisa melihatnya pergi dengan sejuta kekecewaan.
*****
“Vin, maaf aku baru dateng. Tadi aku ada rapat akbar acara pensi, aku udah mencoba bujuk Cakka supaya ngizinin aku ga ikut, tapi dia melarang keras...” Aku diam di tempat begitu melihat via di depan makam alvin, jadi ini yang membuat dia begitu memohon untuk izin rapat.
Aku sedikit melangkah maju agar bisa mendengar kata-kata via dengan jelas. “Aku masih ga nyangka, kalo ternyata kita udah setahun berpisah, maaf kalo ternyata aku belum bisa move on. Aku selalu ngerasa kalo kamu baru beberapa jam ninggalin aku, bukan karena aku ga kangen kamu. Kamu pasti tau seberapa besar rasa kangen aku sama kamu. Itu karena semua kenangan kita vin, begitu banyak tempat, makanan dan kejadian yang ngingetin aku sama kamu. Kenangan itu udah melekat banget di hati aku vin, seolah-olah semua itu bener-bener terjadi lagi, bukan cuma dalam angan aku. Aku tau ini gila, tapi aku masih selalu ngerasa kalo kamu ada di deket aku.”
“Kamu tau Vin, saat ini rasanya pintu hati aku udah tetutup sama nama kamu.Kamu pasti udah bosen denger ini, karena setiap aku kesini aku selalu bilang kalo aku sayang kamu. Tapi entah kenapa aku ga pernah bosen ngungkapin perasaan ini Vin, aku pengen kamu tau kalo selama ini aku selalu berharap perhatian kamu lebih dari sekedar perhatian seorang sahabat, tapi kekasih...” bisa ku pastikan via sudah meneteskan air mata sekarang,walaupun aku hanya bisa melihat punggungnya.
“Aku pulang dulu ya Vin. Maaf kalo setiap kesini aku selalu ngotorin makam kamu dengan air mata aku. Aku sayang kamu...”
“Cakka?” ujarnya begitu berbalik. Aku sendiri cukup tersentak, tak sadar sekarang dia sudah dihadapanku.  “Ll..lo ngapain?”
“Emang gue ga boleh ya nengokin makam Alvin, dia kan sahabat gue juga.” Aku melangkah mendekat ke makam alvin, “sini, ada yang mau gue omongin..” lanjutku sambil menarik via berjongkok di sampingku, di hadapan makam alvin.
Aku menunduk, berfikir dari mana aku harus memulai semua ini. Sementara sisi lain hatiku bergejolak, takut via akan marah begitu mengetahui semuanya.
“kenapa Kka?” tanya via, pasti dia juga sedang bingung ada apa sebenarnya.
Aku menarik nafas panjang, mengumpulkan keberanianku. “Vin, sebelumnya gue mau minta maaf, karena gue udah ngelakuin satu kesalahan besar, tapi sesuai janji gue, gue akan kasih tau Via semuanya, saat ini, di depan lo Vin..”
Aku menatap via, dari tatapannya aku sangat mengerti dia bingung, tak mengerti maksudku. “Seben-”
“Ssst.” aku menaruh telunjukku di bibir via, “Vi, sebenernya selama setahun ini, gue udah nyembunyiin sesuatu yang mukin sangat berharga buat lo.” Kataku sambil memberikan kertas yang sudah setahun aku biarkan menghiasi meja belajarku.
            “Lo baca dulu isinya, baru lo akan ngerasa ini sangat berharga.”

Mungkin ini konyol dan sangat ga gentle.
Lewat selembar kertas biasa ini, gue cuma mau ngungkapin sebuah perasaan yang luar biasa. Gue mau bilang kalo gue sayang sama lo, Sivia Anggraeni, bukan sayang seorang sahabat, ataupun kakak kepada adiknya, tapi sayang seorang lelaki biasa untuk wanita luar biasa yang telah berhasil mencuri hatinya.
Maaf kalo ternyata gue udah ngelanggar perkataan gue pas kita di kantin tempo hari. Gue rela kalo lo masih berpegang teguh sama ucapan gue itu, walaupun gue malah harus menjilat ludah gue sendiri.
I love you, Sivia...
-Alvin-

Via terdiam membaca isi surat itu, sementara aku terdiam tegang. “Gue di kasih surat itu sama Kak Tania, setelah pemakaman Alvin. Kak Tania nanyain lo ke gue, pas gue bilang lo udah pulang dia nitipin surat itu, katanya dia lupa ngasih karena terlalu sibuk ngurus pemakaman Alvin, dia juga bilang kalo kertas itu ada di meja belajar Alvin pas dia nemuin Alvin udah ga sadar di kamarnya. Karena penasaran gue baca dulu isi surat itu. Gue emang bego dan pengecut. Gue ga mau ngasih surat itu ke lo, karena gue takut lo semakin nutup hati lo dan....” aku menunduk sejenak, “...dan lo ga mau buka hati buat cowo lain termasuk gue. Gue udah lama suka sama lo vi, gue juga udah lama tau kalo lo suka sama Alvin, karena gue terlalu sering perhatiin lo. Maafin gue...”
 “vi..” ujarku, di detik yang sama via bergumam.
“Kenapa kka?”
 “Mmm, mungkin waktunya kurang tepat, tapi sesuai janji gue...” aku menggenggam tangan via, sehingga posisi kami berhadapan saat ini. “Gue sayang sama lo vi, lo mau jadi pacar gue?”
            Via terdiam, mungkin dia sedang berfikir. Perlahan dia melepas genggaman tanganku, lalu kembali menatap makam alvin, aku siap menerima jawaban tidak darinya. “Maaf kka, gue...”
“Gue ngerti kok vi, buat gue jawaban jujur itu lebih penting dari pada sekedar ngasih harapan palsu. Tapi... gue mohon lo ga ngejauh dari gue karena hal ini.” Potongku, aku memang sudah menduga semua ini. Tapi aku tidak akan menyerah, aku akan memintanya kembali taun depan, dua tahun kemudian, atau bahkan lima tahun kemudian, sampai waktu membiarkannya melangkah dan berdamai dengan semua kenangannya bersama alvin.

Sempet ragu mau ngetag kalian apa engga, soalnya ini berasa gagal juga takut cuma nyampah doang jadinya -,-
Buat echa silahkan lajutkan sendiri di tahun keberapa sivia sama cakka jadian, hehee. Gue stuck cha, mau diapain lagi ini cerita.
Makasih banyak yang udah bacaaa J