Cinta..
Terlalu sulit untuk dimengerti
Terlalu luas untuk didefinisi
Tapi percayalah, cinta adalah keindahan...
Sivia. Sudah lama aku mengagumi gadis berpipi chubby itu. Senyumannya yang membuat dagunya terlihat lancip, mata sipitnya yang menjadi semakin kecil ketika dia tersenyum, rambut hitamnya yang selau mengikuti arah gerak tubuhnya dan suara merdunya. Bukan hanya itu, aku juga sangat suka ketika berbicara dengannya, sangat ramah. Dia juga berhati mulia, tak pilih-pilih teman, pintar, dan dia cukup bijaksana.
Dia memiliki sahabat dekat, alvin namanya. Mereka berdua saling kenal sejak SMP. Tak jarang aku iri dengan alvin, dia selalu bisa berada didekat via dan melihat tawanya, yang terpenting, dia bisa mengambil hati via. Aku tau itu, walau mungkin olga, teman sebangku viaatau ify teman curhatnya tidak tau. Aku bisa melihat tatapannya yang berbeda saat bersama alvin atau pipi merahnya yang sering terlihat beberapa kali ketika sedang bercanda dengan alvin. Yah, aku memang sering memperhatikannya, terlalu sering, hingga hal sedetil itu pun bisa aku ketahui.
“Kka, kita ga ada tugas lagi nih?” aku tersentak. Orang yang sedang aku pikirkan kini berada tepat di depanku.
“Ga ada kok vi, lo udah selesai?” tanyaku, beruntung aku bisa menyembunyikan kegugupanku dengan cepat. Dia hanya mengangguk. “ajarin gue dong vi, nomor 3 tuh gimana yah?” baiklah kalian benar aku hanya beralasan, tapi aku memang sedikit tidak mengerti.
Via langsung mengambil posisi duduk di bangku yang ada di hadapanku, kebetulan pemilik bangku tersebut tak ada dan entah kemana, semoga saja dia pergi lebih lama. “Itu peluang bersyarat kka. Jadi kita cari dulu peluang dua batre rusak itu dipengambilan..........” sangat konyol. Tapi aku benar-benar tidak bisa memfokuskan diriku pada penjelasannya.
“..... baru deh masukin ke rumus ini. Ngertikan?”
Aku mengalihkan pandangan pada kertas yang baru saja via tambahkan angka dua di atasnya. “Ooh, iya. Makasih ya vi, enak deh diajarin lo jadi lebih masuk. Anyway, nanti pulang sendiri lagi vi?”
“Engga dong, malah hari ini alvin mau beliin gue tiket nonton MLP sebagai permintaan maaf karena tiga kali ninggalin gue pulang sendiri. Hehe...”
“Emang kemaren alvin kemana? Kok ga nganter lo balik?”
“Katanya sih ngerjain tugas kelompok. Gue keluar duluan boleh kan kka? Mau nyelesain proposal silaturahmi OSIS nih, kalo nanti malem takut ga sempet.”
“Oke, ada yang perlu gue bantu ga? Kemaren susunan acaranya udah gue kirimin ke email lo kan?”
“Sejauh ini sih belom ada yang susah, iya kok udah gue download susunannya. Duluan ya kka..” Aku hanya tersenyum sambil menatap kepergiannya, hingga keindahan itu hilang, di balik pintu.
*****
Semudah itukah cinta datang?
Semudah itukah cinta menguasaiku?
Aku duduk di kursi guru, menatap via dan alvin yang tengah meyelesaikan makan siang mereka di sudut kelas sambil berpura-pura menyelesaikan tugasku. Memang pemandangan yang sangat membakar hati, namun aku fikir ini tak terlalu buruk. Karena sesekali aku bisa menikmati tawa renyah via di tengah candanya dengan alvin, atau mungkit semburat merah di pipinya yang membuatnya terlihat lucu.
“Vi, tugas IPA lo mana? Mau dikumpulin nih.” Entah mengapa aku mulai tidak bisa mengendalikan hatiku, rasa cemburu itu menyebar dan membuatku mulai bosan melihat kedekatan mereka.
Via menghentikan obrolannya dengan alvin. “Oh, bentar kka..” dia pun mengacak mapnya untuk mencari kertas yang aku minta. Cukup lama, membuat aku kembali bosan berdiri di hadapan mereka berdua.
“Mana vi?” tanyaku tak sabar. Aku menyesal sekarang.
“Eee, bentar Kka, kertasnya ga ada nih. Tapi gue inget kok tadi pagi masih gue baca ulang, sumpah. Aduuh, parah banget nih.” Sivia mulai panik, dan entah mengapa itu menjadi ekspresi yang lucu menurutku.
“Cari dulu yang bener via, jangan keburu panik, nanti malah ga ketemu.” Alvin ikut membantu via mencari kertas itu di selipan-selipan buku via. Aku memalingkan pandangan ke via, dia menatap alvin lekat-lekat, seolah terpana dengan orang yang ditatap, maksudku mungkin dia benar-benar terpana. “yang ini?” tanya alvin, tapi via masih tampak terhipnotis, dia masih diam dengan pandangan yang masih tertuju pada alvin, dan aku mulai benci keadaan ini. “vi?” tegur alvin lagi.
Via pun langsung mengambil kertas yang ditunjukkan alvin, “Iyaaa. Makasih ya al. Nih kka, maaf ya jadi lama, hehe.” Aku langsung mengambil kertas itu sedikit kasar, aku tidak bisa mengontrol perasaan cemburu yang berlipat-lipat ini. Sekilas aku melihat via menatapku heran, namun aku segera beranjak pergi.
*****
“Bu winda ga masuk juga Kka?” tanya Sivia begitu aku masuk ke kelasnya dengan membawa setumpuk kertas tugas. Aku mengangguk, dia pun mendengus kesal. “Harusnya hari ini gue ga usah sekolah.Alvin ga masuk olga juga, guru-guru banyak yang ga dateng.” Keluhnya, aku hanya tersenyum dan membagikan kertas tugas itu ke yang lain.
Tunggu. Alvin tidak masuk sekolah? Apa itu berarti via akan pulang sendiri? Sepertinya ini kesempatan yang bagus untukku.
Selesai membagikan kertas tugas kesemua siswa di kelas aku kembali ke bangku olga yang kosong itu, tepat. Sebelah via. Dia seperti baru saja selesai menerima telepon begitu aku tepat duduk di sebelahnya, dan wajahnya tampak sangat cemas. “Kenapa vi?”
“Alvin masuk rumah sakit kka” jawabnya, nadanya mulai panik. “Gue harus izin, gue mau nyusul dia.”
“tunggu dulu vi.” cegahku sambil menarik tangannya. “ini baru jam ketiga, lo bakalan susah minta izin. Mendingan sekarang lo selesain tugas ini dulu, nanti pas istirahat gue mintain surat izin sama guru piket.” Via terlihat berfikir, namun lebih banyak keraguan yang tampak. “Lo jangan negatif thinking dulu vi. Lo harus tenang, percaya sama gue alvin akan baik-baik aja.” Kali ini via kembali duduk, dan mulai mengerjakan tugas yang diberi bu winda.
Tak memakan waktu lebih dari setengah jam, aku sudah menyelesaikan 10 soal di tugas itu. Entah mengapa kegundahan sivia membuat aku semangat. Bukan, aku bukan bersenang-senang dalam kesedihannya. Maksudku, aku bersemangat karena ingin segera mengantarnya bertemu alvin. Setelah menyerahkan tugas dan mengamanahkan wakilku untuk mengumpulkannya ke guru piket, aku langsung turun untuk meminta surat izin keluar sekolah.
Beruntung petugas piket hari ini tidak terlalu cerewet, sehingga aku bisa dengan mudah mendapatkan surat izin itu, dan tanpa perlu menunggu bel istirahat aku langsung pergi menuju rumah sakit bersama via.
*****
“Alvin!!” via langsung berlari ke arah kasur kamar itu, dua orang yang tadinya menutupi ranjang sederhana itupun langsung memberi celah untuknya. Aku melangkah biasa, membiarkan via di depan dan menghabiskan tangisnya.
Ini semua salahku. Kesalahanku telah mencegahnya pergi ke rumah sakit beberapa saat setelah mendapat kabar itu. Dalam perjalanan tadi, via kembali mendapat kabar bahwa alvin tidak dapat di selamatkan. Dia merasa sangat terpukul, aku menyesal telah mencegahnya, sangat sangat menyesal.
“Sabar ya vi...” aku merangkul pundaknya, berusaha membagi semangat yang aku punya, walaupun aku sendiri tidak memiliki cukup banyak semangat. Melihat via seperti itu benar-benar membuat aku kehilangan semangat.
“Lo udah telfon Shilla atu Rio kan kka?” suaranya terdengar sendu, walaupun tak banyak air mata yang jatuh.
“udah vi, mereka nanti mau langsung ke rumah alvin aja..”
“Ambulancenya udah siap vi, kamu ikut ke rumah ya?” tanya seorang wanita yang aku tau sebagi kakaknya alvin. Via tak menjawab pertanyaan itu dengan suara, hanya senyuman.
------
“Kka, anter aku pulang sekarang.” Pinta via tiba-tiba. Sedari tadi dia hanya terdiam, tak menangis. Hanya diam dengan tatapan kosong menatap jalan yang sepi karena memang sedang di tutup.
“Tapi... kamu ga mau ikut-”
“Aku mau pulang sekarang kka..” paksanya, akupun langsung berpamitan kepada keluarga alvin dan beberapa teman-teman sekolahku yang sudah ada di sana. Sementara via hanya menunggu di luar. Gue ga bisa melihat peti itu lebih lama lagi, katanya.
-----
Perjalanan yang singkat. Sepanjang perjalanan pun aku ataupun sivia hanya saling diam. Aku tau via menyimpan semua kesedihan itu, dia sedang berusaha tegar, yah, berusaha. Karena bagaimanapun, rasa kehilangan itu sangat jelas terpancar dari sorot kedua bola mata beningnya.
BRAK.
Aku sangat terkejut. Aku tau, via tak bermaksud untuk bersikap kasar.
Aku langsung keluar dari mobil. “via!” sahutku.
Via menoleh, “Makasih Cak, maaf udah ngerepotin.” ucapnya lalu kembali berlari masuk. Aku tau dia tak bermaksud kasar, dia hanya sedang terpuruk. Yah, dia sangat hancur, begitupun aku. Aku sangat hancur melihat keadaannya. Aku hanya ingin memberinya semangat. Kalau perlu aku akan menemaninya sepanjang hari agar dia bisa melupakan ini. Tidak, maksudku agar dia bisa berdamai dengan kesedihan ini. Aku tau dia tak akan pernah lupa dengannya, tapi dia pasti bisa bangkit dari kesedihannya, dan waktu pasti akan membantunya.
Merasa bingung harus kemana, akupun kembali kerumah alvin, aku harus ikut pemakamannya.
-----
Pemakaman usai. Tersisa 4 orang yang masih terdiam di depan makam itu. Oma, ayah dan kakak perempuan alvin. Aku pun masih mematung dijarak yang tak lebih dua meter dari mereka.
"kamu cakka kan?" tanya salah seorang kakak perempuan alvin. "via mana? Dari tadi bukannya dia sama kamu?"
"dia pulang duluan kak." jawabku, dia hanya mengangguk lemah. Kepergian alvin memang membuat banyak orang kehilangan semangat. "kak, kalo boleh saya tau. Sebenernya ada apa dengan alvin?"
Perempuan yang bernama tania itu menghela nafas, "kamu tau kan, hari ini alvin ga masuk sekolah karena migrain." aku mengangguk walaupun sebenarnya aku baru tau itu. "Itu pertama kalinya dia kena migrain. biasanya dia cuma pusing yang kalo istirahat langsung sembuh, jadi di rumah dia ngeluh terus. Pas dia minta ambilin obat sama kakak, malah kakak suruh ambil sendiri." aku fikir belum ada hal mengharukan diceritanya, namun air mata kak tania mulai berjatuhan, dan makin deras, sehingga dia harus menghentikan ceritanya sejenak.
"sudahlah tania.." seseorang merangkul pundak kakak perempuan alvin itu, tapi tangisnya malah semakin pecah. Aku pun merasa bersalah sebagai orang yang mengangkat pembicaraan ini. "maaf kak." Hanya kata itu yang saat ini terlintas di pikiranku.
"gapapa kok nak," kali ini ayah alvin yang menyahut. "sebenarnya alvin meninggal karena overdosis, dia salah ngambil obat , makanya tania merasa sangat bersalah atas kematian alvin." lanjut beliau setelah memindahkan kak tania ke pelukan omanya.
"oh, terima kasih om. Kalau begitu saya pulang duluan." setelah papa alvin tersenyum, aku pun berbalik pergi.
"tunggu!" aku berbalik begitu mendengar sahutan suara yang sedikit serak itu. "tolong kasih ini ke via. Kakak nemuin itu di kamar alvin, via harus tau itu.” Sambungnya sambil memberikan sebuah kertas yang terlipat, aku menerimanya dengan sejuta tanda tanya dalam pikiranku.
1 Tahun Kemudian...
Sudah satu tahun aku menyimpan surat dari kak tania itu. Surat yang pastu akan sangat berharga bagi via. Aku tau aku sangat egois, tapi aku benar-benar takut via akan semakin menutup rapat pintu hatinya setelah dia tau bahwa alvin juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Hari ini, aku berencana mengunjungi makam alvin, kemudian aku akan ke rumah via memberi tau semua rahasia besar ini.
-----
“ayolah kka, hari ini gue ada acara penting, gue harus izin rapat.”
“tapi ini rapat akbar vi, perizinan bukan di gue. Mendingan lo ikut dulu sebentar baru lo izin di tengah rapat.”
“Kka, rapatnya baru mulai jam tiga, itu juga belum ngaretnya, pasti bakalan selesai sore banget..”
“Maaf banget vi, gue juga bingung nanti mau bilang gimana sama ketua pensi, tiap rapat bidang kita yang paling sedikit pesertanya.” Sebenarnya aku sendiri tidak tega membiarkannya memohon seperti itu. Dan kini aku hanya bisa melihatnya pergi dengan sejuta kekecewaan.
*****
“Vin, maaf aku baru dateng. Tadi aku ada rapat akbar acara pensi, aku udah mencoba bujuk Cakka supaya ngizinin aku ga ikut, tapi dia melarang keras...” Aku diam di tempat begitu melihat via di depan makam alvin, jadi ini yang membuat dia begitu memohon untuk izin rapat.
Aku sedikit melangkah maju agar bisa mendengar kata-kata via dengan jelas. “Aku masih ga nyangka, kalo ternyata kita udah setahun berpisah, maaf kalo ternyata aku belum bisa move on. Aku selalu ngerasa kalo kamu baru beberapa jam ninggalin aku, bukan karena aku ga kangen kamu. Kamu pasti tau seberapa besar rasa kangen aku sama kamu. Itu karena semua kenangan kita vin, begitu banyak tempat, makanan dan kejadian yang ngingetin aku sama kamu. Kenangan itu udah melekat banget di hati aku vin, seolah-olah semua itu bener-bener terjadi lagi, bukan cuma dalam angan aku. Aku tau ini gila, tapi aku masih selalu ngerasa kalo kamu ada di deket aku.”
“Kamu tau Vin, saat ini rasanya pintu hati aku udah tetutup sama nama kamu.Kamu pasti udah bosen denger ini, karena setiap aku kesini aku selalu bilang kalo aku sayang kamu. Tapi entah kenapa aku ga pernah bosen ngungkapin perasaan ini Vin, aku pengen kamu tau kalo selama ini aku selalu berharap perhatian kamu lebih dari sekedar perhatian seorang sahabat, tapi kekasih...” bisa ku pastikan via sudah meneteskan air mata sekarang,walaupun aku hanya bisa melihat punggungnya.
“Aku pulang dulu ya Vin. Maaf kalo setiap kesini aku selalu ngotorin makam kamu dengan air mata aku. Aku sayang kamu...”
“Cakka?” ujarnya begitu berbalik. Aku sendiri cukup tersentak, tak sadar sekarang dia sudah dihadapanku. “Ll..lo ngapain?”
“Emang gue ga boleh ya nengokin makam Alvin, dia kan sahabat gue juga.” Aku melangkah mendekat ke makam alvin, “sini, ada yang mau gue omongin..” lanjutku sambil menarik via berjongkok di sampingku, di hadapan makam alvin.
Aku menunduk, berfikir dari mana aku harus memulai semua ini. Sementara sisi lain hatiku bergejolak, takut via akan marah begitu mengetahui semuanya.
“kenapa Kka?” tanya via, pasti dia juga sedang bingung ada apa sebenarnya.
Aku menarik nafas panjang, mengumpulkan keberanianku. “Vin, sebelumnya gue mau minta maaf, karena gue udah ngelakuin satu kesalahan besar, tapi sesuai janji gue, gue akan kasih tau Via semuanya, saat ini, di depan lo Vin..”
Aku menatap via, dari tatapannya aku sangat mengerti dia bingung, tak mengerti maksudku. “Seben-”
“Ssst.” aku menaruh telunjukku di bibir via, “Vi, sebenernya selama setahun ini, gue udah nyembunyiin sesuatu yang mukin sangat berharga buat lo.” Kataku sambil memberikan kertas yang sudah setahun aku biarkan menghiasi meja belajarku.
“Lo baca dulu isinya, baru lo akan ngerasa ini sangat berharga.”
Mungkin ini konyol dan sangat ga gentle.
Lewat selembar kertas biasa ini, gue cuma mau ngungkapin sebuah perasaan yang luar biasa. Gue mau bilang kalo gue sayang sama lo, Sivia Anggraeni, bukan sayang seorang sahabat, ataupun kakak kepada adiknya, tapi sayang seorang lelaki biasa untuk wanita luar biasa yang telah berhasil mencuri hatinya.
Maaf kalo ternyata gue udah ngelanggar perkataan gue pas kita di kantin tempo hari. Gue rela kalo lo masih berpegang teguh sama ucapan gue itu, walaupun gue malah harus menjilat ludah gue sendiri.
I love you, Sivia...
-Alvin-
Via terdiam membaca isi surat itu, sementara aku terdiam tegang. “Gue di kasih surat itu sama Kak Tania, setelah pemakaman Alvin. Kak Tania nanyain lo ke gue, pas gue bilang lo udah pulang dia nitipin surat itu, katanya dia lupa ngasih karena terlalu sibuk ngurus pemakaman Alvin, dia juga bilang kalo kertas itu ada di meja belajar Alvin pas dia nemuin Alvin udah ga sadar di kamarnya. Karena penasaran gue baca dulu isi surat itu. Gue emang bego dan pengecut. Gue ga mau ngasih surat itu ke lo, karena gue takut lo semakin nutup hati lo dan....” aku menunduk sejenak, “...dan lo ga mau buka hati buat cowo lain termasuk gue. Gue udah lama suka sama lo vi, gue juga udah lama tau kalo lo suka sama Alvin, karena gue terlalu sering perhatiin lo. Maafin gue...”
“vi..” ujarku, di detik yang sama via bergumam.
“Kenapa kka?”
“Mmm, mungkin waktunya kurang tepat, tapi sesuai janji gue...” aku menggenggam tangan via, sehingga posisi kami berhadapan saat ini. “Gue sayang sama lo vi, lo mau jadi pacar gue?”
Via terdiam, mungkin dia sedang berfikir. Perlahan dia melepas genggaman tanganku, lalu kembali menatap makam alvin, aku siap menerima jawaban tidak darinya. “Maaf kka, gue...”
“Gue ngerti kok vi, buat gue jawaban jujur itu lebih penting dari pada sekedar ngasih harapan palsu. Tapi... gue mohon lo ga ngejauh dari gue karena hal ini.” Potongku, aku memang sudah menduga semua ini. Tapi aku tidak akan menyerah, aku akan memintanya kembali taun depan, dua tahun kemudian, atau bahkan lima tahun kemudian, sampai waktu membiarkannya melangkah dan berdamai dengan semua kenangannya bersama alvin.
Sempet ragu mau ngetag kalian apa engga, soalnya ini berasa gagal juga takut cuma nyampah doang jadinya -,-
Buat echa silahkan lajutkan sendiri di tahun keberapa sivia sama cakka jadian, hehee. Gue stuck cha, mau diapain lagi ini cerita.
Makasih banyak yang udah bacaaa J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar