Jumat, 11 Februari 2011

sivia


Aku memang tidak pernah tau rasanya kehilangan seorang kakak, tapi aku sangat tau bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayang.
Aku shilla, shilla veronica. Kali ini aku tidak akan bercerita tentang kisah mantan-mantanku atau tentang keluargaku yang tak pernah mempedulikanku. Tapi aku akan bercerita tentang sahabatku, sivia oxavia zadanie, yang harus kehilangan kakak semata wayangnya, teman dalam setiap langkah hidupnya.
**********
Aku dan via bersahabat sejak SD karena kami satu sekolah, sayangnya memasuki jenjang SMA kami berpisah. Nilaiku tidak mencukupi untuk masuk ke SMA 1, sekolah via sekarang. Berbeda sekolah tidak membuat persahabatan kami terlupakan begitu saja. Aku masih sering bermain ke rumah via walau jarak rumah kami bisa dibilang jauh, dan kami pun masih sering komunikasi lewat telepon atau sms.
Tapi tidak untuk beberapa hari terakhir. Aku terlalu sibuk mengurus acara pensi sekolahku, belum lagi ujian tengah semester yang sebentar lagi berlangsung. Beberapa kali via sempat smsku, meminta ditemani pergi, tapi aku mengabaikannya.
Aku tak menyangka ternyata sahabatku itu memang sedang membutuhkan sahabatnya. Dia sangat membutuhkanku, tapi aku apa? Tau keadaannya saja tidak. Status facebooknya, tweetnya, aku pikir semua itu hanya bagian dari cerita-cerita yang dia baca, ternyata aku salah. Itulah isi hatinya, jeritan kesedihannya.
-------
“shil, ke rumah via yuk pulang rapat nanti.” ajak oik sahabatku di SMA. Via dan oik juga saling mengenal, bahkan kami sudah sering bermain bersama sahabat via juga, aren dan acha.
Aku menggigit bibir, “tapi besokkan ada tugas math, pekan depan juga kita udah mau uts.” Seharusnya oik sadar bahwa itu sebuah penolakan secara halus.
Oik berdecak, “itu mah dikerjain malem juga selesai shil, paling sisa dua-tiga nomor, lanjutin di sekolah beres. Ayolah, udah hampir sebulan kita ga ketemuan sama via. Lagian kamu ga kangen sama abangnya?” rayu oik sambil tersenyum menggodaku. Aku menunduk untuk menutupi kesaltinganku.
“tapi sebentar aja ya. Aku telepon via dulu deh..”
“eet, jangan shil, biar kita kasih surprise buat dia. Oke?” usul oik sambil mengangkat alis kirinya. Aku hanya mengangguk.
-------
Beruntung hari ini supirku sedang tidak sibuk mengantar ayah bekerja, jadi aku bisa minta antar dia untuk pergi ke rumah via. Sore itu pun aku dan oik langsung berangkat ke rumah via setelah rapai usai.
Macetnya jakarta membuat perjalanan kami sedikit lebih lama, dan aku sedikit resah memikirkan tugas mathku. Oik mungkin bisa mengerjakannya setengah atau bahkan seluruhnya dalam beberapa jam malam nanti, karena selain dia pintar, kakaknya juga guru matematika yang mahir menyelesaikan soal-soal dari pak duta yang sulitnya minta ampun itu. Tapi aku? Mencerna satu soal saja bisa memakan waktu setengah jam.
“shil, kok rumahnya sepi banget ya?” gumam oik, ternyata kami telah sampai dan aku baru menyadarinya.
“eh? Ga tau tuh ik, yaudah kita turun dulu yuk. Tunggu sebentar ya pak.”
Rumah besar itu memang terlihat sepi. Aku tau rumah itu memang selalu sepi karena hanya via, kak alvin, bi siti dan pak sam yang sering ada di sana, sementara ayah via sibuk bekerja dan ibunya sudah lama meninggal, tapi keadaan rumah ini tidak seperti biasanya.
Tak ada mobil di garasi yang pintunya terbuka lebar itu, tirai-tirai jendela juga tertutup rapat, dan gerbang yang tergembok. Aku mencoba menekan bel beberapa kali, namun tetap tidak ada tanda-tanda penghuni di rumah itu.
“ini orang udah pada tidur apa lagi pergi semua ya? Masa bi siti juga ga ada sih?” gumam oik sambil sedikit menjinjit dan mendongak karena badannya kalah tinggi dengan pagar rumah itu. “coba telepon deh shil..”
“tadi katanya mau surprise?” candaku sambil meraih handphoneku dalam tas.
“aah, sekarang kan beda keadaan. Hehe..”
TIN..TIIIIN...
Serempak aku dan oik menoleh ke mobil yang baru saja mengeluarkan suara klakson itu. Aku sedikit menjauh dari depan gerbang dan supirku memanjukan mobilnya agar mobil tadi bisa masuk. Lalu seorang wanita yang sejak tadi telah turun dari mobil itu membuka pintu gerbang dan membiarkan mobil masuk.
“asik, pas banget orangnya dateng. Jadi deh surprisenya..” girang oik. Mba siti, pembantu via yang tadi membuka pintu menghampiri aku dan oik setelah mobil itu tepat di posisinya.
“mba shilla sama mba oik nyari non via tah?” tanya bi siti dengan logat jawanya yang khas.
“iya, habis pada kemana bi? Sepi banget rumah.”
“maaf mba shilla, mba oik, non vianya sedang di rumah sakit, menjaga den alvin yang habis kecelakaan seminggu lalu.” bi siti bercerita seolah tak mendengar pertanyaan aku tadi. Mungkin pikirannya penuh dengan majikan mudanya itu.
“terus se-”
“kasian non via, udah beberapa hari dia bolos sekolah buat jagain den alvin, kalo sekolah pun pulangnya dia langsung ke rumah sakit, ke rumah pun paling cuma mandi. Soalnya tuan lagi sibuk di paris, dan ga bisa ninggalin kerjaannya di sana. Beberapa hari lalu tuan sempet ke sini sebentar, selebihnya cuma nanya-nanya kabar den alvin lewat telepon.” tanpa membiarkan kalimat oik selesai, bi siti melanjutkan ceritanya.
“boleh minta alamat rumah sakitnya bi? Kita mau ke sana sekarang.”
“oik! Kamu gila ya? Ini udah mau maghrib, besok kita ada tugas math.”
“tugas math mah gampang shil, kamu bisa nyontek sama aku besok, biar nanti malem aku begadang ngerjain. Yang penting sekarang keadaan via, seminggu ini dia sendiri ngadepin semua cobaan ini, kamu masih mau mikirin tugas matek yang cuma sepuluh nomor itu? Tolong jangan egois shil..” hatiku sedikit bergetar mendengar perkataan oik itu. Apa iya aku terlalu egois?
Bi siti menatap aku dan oik bergantian, “kalian jadi ke rumah sakit sekarang?” tanya bi siti tanpa pedulikan sedikit keributan antara aku dan oik tadi.
“jadi bi.” jawabku mendahului oik yang telah membuka mulutnya.
“kalo gitu nanti kita bareng saja, saya mau ngambil baju ganti untuk non via dulu. Ayo kalian silahkan masuk, tunggu di dalam saja.” ajak bi siti masih dengan logat jawanya.
“makasih bi, kita tunggu di mobil aja. Bibi cepetan ya.” tanpa bersuara lagi, bi siti langsung masuk ke rumahnya.
Aku menoleh ke oik yang ternyata juga sedang menatapku. Suasananya memang menjadi sedikit tidak nyaman sejak beberapa detik lalu. Aku menggeser kepalaku sedikit demi sedikit sehingga yang dapat ku lihat sekarang adalah sepatuku. Kecanggungan pun menyelimuti kami berdua, biasanya di saat-saat seperti ini agni, sahabat kami, yang akan kembali membuat suasana menjadi hangat, sayangnya sejak kemarin dia sakit dan dokter menyuruhnya beristirahat di rumah selama tiga hari.
“Shil,” aku menoleh, oik tersenyum padaku. “makasih ya, maaf tadi aku emosi.”
Aku mengangguk dan membalas senyumnya, “maaf juga aku egois.”
“yaudah balik ke mobil yuk.”
**********

Ini bukan pertama kalinya aku berkunjung ke rumah sakit, malah aku sudah terlalu terbiasa dengan aroma alkohol yang khas dari rumah sakit, karena ayahku juga seorang dokter. Tapi kali ini sedikit ketegangan mengalir dalam tubuhku begitu aroma itu terhirup, ditambah dinginnya udara malam ini. Oik yang berjalan beriringan denganku di belakang bi siti dan pak sam menggandeng tanganku, raut kecemasan sangat tampak di wajahnya.
CKLEK. Bi siti membuka pintu kamar rumah sakit itu. Tapi dia hanya berdiri di sebelah pintu, sambil menahannya agar tidak tertutup kembali, lalu mempersilahkan kami masuk. Aku dan oik pun masuk bergantian, lalu dengan langkah kecil kami mendekati daerah utama kamar rumah sakit itu.
Pemandangan pertama yang aku tangkap begitu masuk rumah sakit itu adalah seorang gadis yang sudah pasti dapat kalian tebak itu sivia tengah teduduk lemas di sebuah kursi plastik yang di letakkan di sebelah ranjang kamar itu dengan kepala yang direbahkan di ranjang itu. Sivia belum bergerak, mungkin dia tertidur atau tak sadar dengan kedatangan kami karena kepalanya memang membelakangi kami.
Bi siti meletakkan tas yang dibawanya di sofa yang ada di sudut kamar, lalu dia menjatuhkan tubuhnya di sebelah tasnya itu sehingga membuat suara yang terdengar jelas di keheningan ruangan itu.
Sivia mengangkat kepalanya sedetik setelah suara berisik tadi muncul, lalu dia memutar badannya ke arah kami. “Bibi udah dat... kalian?” ujarnya lemah sambil menghapus sisa air mata di pipinya. Matanya merah dan sembam.
Oik melangkah cepat mendekati via lalu memeluknya, “kamu yang sabar ya vi, maaf kita baru bisa dateng sekarang...” suara oik melemah di akhir kalimatnya namun tetap terdengar karena heningnya ruangan. Beberapa detik kemudian terdengar suara sesegukan dari dua insan itu.
Aku menatap orang yang berbaring di ranjang itu. Kak Alvin. Kepalanya dibalut perban berlapis-lapis, dan masih membekas darah di sekitar keningnya. Selang-selang infus dan alat bantu bernafas menempel di badannya. Aku memang belum tau apa yang terjadi dengannya, tapi sudah bisa ku pastikan dia mengalami kecelakaan parah.
“shilla..” aku tersadar begitu mendengar suara lemah itu, bersamaan dengan sebuah tepukan di pundakku.
“via..” sahutku lalu memeluknya. “sabar ya vi, maaf akhir-akhir ini aku jarang ngehubungin kamu sampe ga tau kalo kak alvin kecelakaan.”
Aku merasakan via mengangguk dalam pelukanku, lalu aku mulai merasakan pundakku basah. Aku pun mempererat pelukanku, berusaha memberikan lebih banyak energi positif agar via bisa bersabar.
“sebenernya kak alvin kenapa vi?” tanyaku setelah melepas pelukan via.
Via sesegukan, lalu dia menghapus air matanya yang kembali menetes. “bi, aku sama temen aku keluar dulu ya. Bibi tolong jagain kak alvin.”
Setelah mendapat jawaban iya dari bi siti, via melangkah mendekati pintu, dan tanpa perlu di perintah aku dan oik mengikutinya.
**********

Via membawa kami ke kantin rumah sakit itu, sudah mulai sepi di sana hanya ada beberapa orang selain kami. Kami hanya bercanda-canda ringan sampai minuman pesanan kami datang.
“keadaan kak alvin udah parah banget, shill, ik..” aku dan oik terdiam memperhatikan cerita via, kami paham sekarang saatnya serius.
“seminggu lalu dia kecelakaan sepulang latihan band sama temennya. tiba-tiba... aku dapet kabar dari papa kalo kak alvin di rawat di rumah sakit.. padahal saat itu papa lagi di paris...” via menghapus air mata yang baru saja keluar di pangkal matanya. “aku pikir kak alvin lagi ngerjain aku, jadi aku tetep ke rumah sakit walaupun udah jam dua malem...”
“...tt..tapi ternyata aku salah... kak alvin bener-bener lagi sekarat di rumah sakit... sampe sekarang aku ga tau kenapa ka alvin bisa kecelakaan. Orang yang bawa kak alvin ke rumah sakit pun ga tau, katanya dia nemuin ka alvin udah dalam keadaan yang parah banget di depan persimpangan...”
Oik menarik via ke pelukannya, membiarkan via membasahi kemeja putihnya. “tenang vi, keluarin aja semua yang udah kamu simpen selama ini...” oik benar. Via pasti belum menceritak ini semua pada ify dan acha. Dia sangat tertutup, dan hanya pada aku dan oik dia mau jujur.
“terus sekarang kak alvin gimana? Ga ada kerusakah serius kan di organ tubuhnya?” tanyaku, aku sangat cemas mendengar cerita via tadi. Bahkan mataku mulai berat ingin ikut menangis.
Via melepaskan pelukan oik, “kaya yang udah aku bilang tadi shil, kak alvin udah parah banget. Aku sendiri pesimis kak alvin bisa sem...buh.” tangisan via kembali pecah.
“Vi, kamu ga boleh bilang gitu, aku dan shilla juga bakalan bantu doain kak alvin.. kak alvin pasti sembuh vi...” oik kembali menenangkan via dengan mengusap pundaknya.
Via menghapus asal tetesan air mata di pipinya, membuatnya terlihat semakin kacau. “ee...eng..gak ik.. kak alvin luka parah... ada kebocoran di otak kanannya...” via menghentikan ceritanya dan membersikan wajahnya dengan tisu yang baru saja oik keluarkan dari tasnya. “Beberapa hari lalu dokter sempet nyaranin kak alvin di operasi, papa udah sempetin pulang buat tanda tangan persetujuan dan ngikutin perjalanan operasi kak alvin, tapi....” via kembali menangis sesegukan, aku dan oik tak tega melihatnya sehingga kami ikut meneteskan air mata.
Sebenarnya aku sangat penasaran dengan kelanjutan cerita via, tapi aku tidak berani menanyakannya, khawatir tangisnya semakin menjadi. Akhirnya aku hanya bisa diam menunggu via tenang dan melanjutkan ceritanya.
“...tapi begitu selesai operasi, ternyata... ada kebocoran lain di otak kiri kak alvin, lebih kecil, lebih banyak, dan lebih sulit di sembuhkan...”
Via membenamkan wajahnya ke dalam kedua belah tangannya beberapa detik, oik masih merangkulnya, aku pun menggeser posisi dudukku sehingga bisa ikut merangkul via. Setelah via sedikit tenang, aku dan oik mengantarnya kembali ke kamar rawat kak alvin. Lalu kami pamit pulang.
Ternyata via masih seperti dulu. Masih suka menyimpan segala masalahnya sendiri. Masih suka tak mau berbagi selain dengan aku. Masih suka membiarkan aren dan acha tak pernah curiga dengannya. Aku bersyukur oik telah membentakku untuk pergi ke rumah sakit hari ini.
**********

Hari ini aku dan oik kembali berencana menjenguk kak alvin, menemani via menjaga kakak kesayangannya itu. Tapi kali ini kami tidak hanya berdua. Agni, yang baru saja merasa keadaannya lebih baik memaksa ikut menjenguk kak alvin begitu aku dan oik menceritakan keadaannya. Aku juga sempat menghubungi aren dan acha, menceritakan semuanya dan mereka akan menyusul kami setelah beberapa urusannya di sekolah selesai.
Aku melihat ke dalam kamar rawat kak alvin dari kaca yang mengisi sedikit bagian dari pintu kamar itu. Tentu saja hanya via dan kak alvin yang masih berbaring yang terlihat. Via memang telah menceritakan rencana izin sekolahnya pada aku dan oik semalam. Hari jum’at penuh pelajaran yang gag penting, mendingan aku jagain kak alvin dari pada kesekolah cuma buat bercanda dan main.
Aku membuka pintu itu perlahan, berusaha tak mengeluarkan suara. Lalu oik dan agni masuk dan aku kembali menutup pintu itu perlahan.
“...hari ini papa pulang kok kak, katanya kerjaannya udah selesai. Kakak jangan marah ya sama papa, papa ga pernah bermaksud ga peduliin keluarganya. Kakak tau sendiri kan, dalam sehari papa bisa sepuluh kali nelepon buat nanyain keadaan kakak dan aku...” oik dan agni diam di tempat, tak melanjutkan langkahnya.
“kak, aku ga akan maksa kakak untuk sembuh lagi kok. Aku janji akan ikhlas walaupun kakak lebih memilih untuk nemenin mama di surga...” via menangis lagi. Mataku sedikit berat mendengar suara parau via itu.
“...kan masih ada papa yang nemenin aku di sini... ada shilla, oik, agni, aren, sama acha juga yang akan ngejagain aku...”
Oik membiarkan kakinya melangkah maju, mendekati via, di posisi yang sama saat aku menengoknya kemarin. “vi...” ujarnya sambil menepuk pundak via.
Via menyentuh tangan oik yang ada di pundaknya lalu berbalik menatap oik dan memeluknya. Aku dan agni pun ikut menghampiri mereka.
“via...” semua mata menoleh ke arah pintu. Seseorang tampaknya baru saja melewatipintu masuk kamar itu.
“papa...” via berdiri dan melangkah cepat ke pelukan papanya. Aku merasa ini bagian khusus bagi keluarga ini, sehingga aku mengajak oik dan agni keluar.
-------

“firasat aku ga enak...” ucapku lemas.
“udah shil, jangan nething dulu.” Oik merangkulku. Dia memang selalu bisa menenangkan orang dengan pelukannya.
“iya yang penting kita berdoa aja..” agni ikut menenangkan.
“shilla!” aku melepas pelukan oik. “kok kalian di sini? Kak alvin gimana?” tanya acha. Aren menyusul dari belakang, langkahnya sedikit tertinggal karena rok spannya.
Aku malah menangis mendengar pertanyaan acha.
“kak alvin ga kenapa-napa kok. Ayahnya via baru dateng, makanya kita keluar dulu.”
Beberapa saat kami saling diam. Lalu terdengar langkah terburu-buru dari belakang kami yang semakin mendekat.
“permisi mba, tolong jangan di jalan ya...”
Kami langsung membuka jalan untuk dokter dan suster itu. Tapi... tunggu, mereka masuk ke kamar rawat kak alvin..
“kak alvin..” aku pun melangkah cepat ke kamar itu.
“biar kak alvin di periksa dokter dulu shil.” via menghadangku begitu aku siap membuka pintu. Pipinya basah, matanya merah dan bengkak.
“kak alvin kenapa vi?” tanya oik yang sudah menyusul aku bersama yang lain.
Via hanya menggeleng, lalu papanya membawa dia duduk di bangku sekitar lorong rumah sakit.
Aku memeluk oik yang sudah di sebelahku. Agni ikut mengusap pundakku. Tenang shil, apapun yang terjadi kamu harus terima. Kata mereka. Aren dan acha menatap aku heran seolah bertanya ‘kenapa shilla menangis sesendu ini padahal dia hanya teman adiknya kak alvin?’, aku pun menghapus air mata ku sebelum mereka mulai berfikir yang tidak-tidak.
Selang beberapa menit kemudian dokter keluar dari ruangan itu. Via dan ayahnya langsung menghampirinya. Sementara kami mendekat dan mencoba mendengar percakapan mereka.
“...sekali lagi kami mohon maaf...” hanya sepenggal kata itu yang tertangkap oleh pendengaranku. Via langsung menangis dalam pelukan ayahnya. Aku mencoba tegar, ketika hatiku meyakini nyawa kak alvin sudah tak bisa tertolong lagi. Sementara yang lain sedikit mengeluarkan air mata. Entah ikut merasa kehilangan atau iba melihat pecahnya tangisan via hingga membuatnya jatuh pingsan.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana via bisa bersabar dan menerima kenyataan ini. Aku tau seberapa dekat kak alvin dengannya, aku tau betapa berharganya kak alvin untuknya, dan aku tau bagaimana kak alvin selalu bisa menjaga dan menyayangi adiknya itu. Sementara aku, yang hanya menyimpan sedikit perasaan lebih padanya merasa tak sanggup lagi melihat wajah pucatnya itu. Yang pasti, via jauh lebih terpuruk dariku...

Kita tak pernah tau kapan ajal itu datang, dan kita juga tak akan tau dimana hembusan nafas terakhir kita terjadi. Tapi kita tau hal itu pasti terjadi, sehingga tak ada alasan untuk tidak siap dengan semua itu...


Krik..krikk...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar